Ada pekerjaan yang diperjual-belikan! Jelas hal ini adalah kontradiksi antara terbatasnya jumlah angka lapangan pekerjaan
yang tersedia dengan membludaknya jumlah angka pencari kerja yang tersebar di Indonesia. Tentu, hal ini bukan merupakan sebuah jejak baru
dalam sentra dunia pekerjaan kita. Praktek distorsi yang jauh dari keadilan ini telah
mengoroki setiap jengkal sektor industri pekerjaan di wilayah Indonesia. Tak hanya di kota-kota besar, tapi juga dikota-kota
kecil, termasuk diwilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang kita banggakan sebagai salah satu kepulauan strategis yang bahkan mampu
memberikan pekerjaan bagi penduduk kepulauan lainnya.
Barangkali, beberapa tirai hitam yang
selama ini telah menutupi transaksi “Ada uang, Anda
lolos” dalam sektor dunia pekerjaan telah terungkap, tetapi sayang, itu hanyalah
separuh, bahkan mungkin seper-empat dari eksistensinya yang hingga kini
masih menggila dan sulit untuk ditumpas. Bukan rahasia lagi bahwa lingkaran setan dalam dunia pekerjaan
ini ditenggarai oleh lebih dari satu orang, yang masing-masing dari mereka
memiliki peran tersendiri. Namun, meski peran telah terbagi, keharusan untuk
berkordinasi antara satu dengan yang lainnya tetap dinomor wahidkan agar dapat
tercapai tujuan semulanya.
Kembali kepada cermin ekstentif, berkaca kepada kecilnya kuota
lapangan pekerjaan di Indonesia, maka mau tidak mau memaksa masyarakat yang sangat
membutuhkan pekerjaan tersebut harus bersaing secara fair. Namun lagi-lagi, sangat disayangkan,
ternyata kerja keras para kompetitor tersebut tak jarang dijadikan ladang empuk
penghasilan haram bagi tangan-tangan kotor dan licik. Ketika
hampir meledaknya jumlah pengangguran di Indonesia, ternyata masih terdapat banyak oknum yang
melenggang dan bermain di air keruh hanya untuk kepentingannya sendiri. Sudah
tentu fakta ini sama sekali tidak dapat termaafkan dan harus sesegera mungkin
dikuak keberadaan keseluruhannya secara terang-terangan agar dapat dibenahi
sebelum terlambat, dan pada akhirnya tidak menjadi suatu kebudayaan abses
yang mengakar kuat ke dalam tanah tercinta kita.
Laten
KKN
Barangkali tidak ada orang yang tidak tahu dengan KKN. Ya, itu karena KKN bukan merupakan produk baru yang beredar
luas di negara kita. Praktek ini dapat disebut sebagai mata rantai yang saling memiliki
relevansi terhadap kebobrokan moral sebuah bangsa. Termasuk bagi
praktek jual-beli pekerjaan yang pada sistemnya juga mengadopsi metode KKN. Seperti
yang lazim diketahui bahwa KKN adalah sebuah akronim dari tiga kata, yaitu
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Korupsi menurut perspektif masyarakat awam
adalah suatu perbuatan yang dapat merugikan orang lain, yang kerap di
identikkan dengan sifat tamak akan harta benda, khususnya uang. Dalam bingkai hukum, korupsi sendiri diartikan sebagai suatu perbuatan melawan
hukum yang dilakukan untuk menguntungkan/memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi sehingga dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Berbingkai etimologis, Kolusi berarti persekongkolan antara dua pihak
atau lebih untuk dapat mencapai tujuan melalui cara-cara yang tidak sesuai/keluar prosedur. Sedangkan Nepotisme bila dipandang dari kacamata etimologis dapat berarti suatu perbuatan yang bertendensi mengedepankan/mendahulukan sanak saudara, sahabat, dan orang-orang terdekat, dll daripada orang-orang yang memiliki suatu potensi kompetensi dalam suatu hal yang berkaitan erat dengan kebutuhan akan potensi kompetensi.
Dalam hal laten KKN ini, salah satu sistem tersembunyi yang dapat dikatakan tepat untuk dikenakan pada praktek jual beli pekerjaan adalah unsur korupsi diatas. Hal ini dipandang cukup selaras. karena dalam dunia perekrutan pekerja, bagi sebuah instansi pemerintahan atau swasta, cukup lumrah secara on backstage para panitia seleksi melelang pekerjaan lengkap dengan posisi strategis kepada para pelamar pada saat sebelum, sedang atau setelah proses seleksi berlangsung. Alhasil, para pelamar yang memiliki kompetensi tapi tidak memiliki modal (uang) untuk membeli pekerjaan tersebut akan segera tersingkirkan oleh mereka entah memiliki kompetensi atau tidak, namun memiliki modal untuk membeli pekerjaan yang ditawarkan tersebut.
Kecerdasan dan skill tidak lagi
menjadi jaminan bagi lolosnya seseorang dalam seleksi pekerjaan. Ya, hal ini
jelas tidak dapat lagi dihindarkan, mengingat kita semua paham akan kondisi yang terjadi. Slogan "bagi yang punya uang menang, yang
bokek tak masuk hitungan" sudah dianggap sebagai suatu kebudayaan yang wajar.
Lantas, apakah peranan produk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini undang-undang ketenagakerjaan yang secara
garis besar, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa, "setiap pencari berhak
mendapatkan perlakuan yang sama dari calon pemberi kerja?". Jawabnya adalah
peraturan itu sudah kadaluarsa artifisial sebelum waktunya hingga jadi bulan-bulanan untuk dilanggar oleh para calon
pemberi pekerjaan bagi orang-orang yang sangat membutuhkannya.
Peranan
Dinas Ketenagakerjaan
Dalam pola kehidupan suatu negara
terdapat ragam instansi pemerintah dan peraturan terkait untuk mengakomodir berbagai
hal yang sering, pernah atau akan terjadi dari berbagai tindakan penyelewengan
tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Tak terkecuali dalam lingkup dunia
pekerjaan yang dikuasakan kendalinya kepada dinas ketenagakerjaan beserta
dengan The rule of the game-nya (peraturan). Sudah
sepatutnya dinas terkait dalam sektor dunia pekerjaan melaksanakan tugasnya
dengan serius dan penuh ketegasan agar dapat mengakomodir dengan lurus fungsi dan tujuannya. Berawal dari hal yang demikian, untuk membentuk sebuah ketegasan,
maka pada seseorang diperlukan sebuah mentalitas tinggi yang harus disertai dengan kebulatan
tekad serta niat. Dalam hal ini, seseorang yang dimaksud adalah stake
holder pada dinas masing-masing, termasuk dinas ketenagakerjaan.
Dapat dibayangkan,
apabila para pemangku jabatan yang terkait dengan sektor dunia pekerjaan tidak
memiliki sifat tegas untuk menindak berbagai pelanggaran yang akan terjadi
sewaktu-waktu. Bagaimana jika suatu waktu terjadi pelanggaran yang dilakukan
oleh calon pemberi kerja terhadap para pencari kerja? Sebut saja tindakan
diskriminasi terhadap slah satu atau lebih calon pelamar kerja itu dengan dalih berkas lamaran tidak
lengkap (administrasi) atau hasil tes tertulis tidak memenuhi standarisasi perusahaan terkait,
padahal semua yang dikatakan itu seluruhnya ompong dan berbalik kebenaran dengan yang sesungguhnya. Atau bagaimanakah jika seandainya dengan jelas telah
diketahui oleh para calon pelamar pekerjaan yang bersangkutan bahwa calon
pemberi pekerjaan melakukan praktek money
politic dalam proses penerimaan pekerjaan tersebut? Tentunya dalam hal ini,
kekuatan dan kekuasaan dari pemberi pekerjaan sama sekali tidak dapat dianggap
enteng atau sebelah mata oleh dinas ketenagakerjaan. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan suatu
ketegasan yang ditenggarai oleh mentalitas keberanian untuk dapat menindak
tegas pelaku pelanggaran agar dapat meluluh lantakkan arogansi dan membuat jera serta
para pemberi pekerjaan yang notabene adalah kaum borjuis dan jetzet itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar