Riuh menanti dihadapanku. Empat bundar ban karet pengangkut serta penopang kotak besi melaju tak beraturan. Di dalamnya, muka-muka lusuh bingar dijejal ceceran aspal keropos. Suar hampir nampak didepan. Dari sini, hanya rimbun dedaun yang menjadi pagar. Kemilau sinar dibalik wajah awan basah tadi lembab sudah, keropos disapu bersih uap panas tak berjejak. Semu, ribuan pasang mata menatap jalur-jalur menukik tak berpagar. Ya, barangkali memang ribuan mata jika aku tak salah terka, sebab mereka; serangga, kuman dan bakteri juga masuk ke dalam hitunganku. Tapi, tentu tidak semuanya mengerti perjalanan ini. Hanya sebagian saja. Ya, hanya sebagian saja.
Beratap besi, hawa panas pun menyerap tak beraturan. Biaskan keringat pada muka kulit yang memerah. Alhasil, jemari dua tangan menjadi bumerang bagi peluh yang bertebaran liar kesana kemari. Tapi tunggu dulu, apakah ada yang merasa bahwa diantara semuanya hanya kita yang menderukan tangan layaknya mesin penghapus peluh? Oh, ternyata tidak, ada sebagian yang tertangkap potret pandang tengah mengayuhkan benda bertulang rotan dan bambu yang dianyam dengan kain putih lusuh. Yah, lagi-lagi itu bukan suatu hal asing bagi kita. Kita tahu apa itu.
Demikian, kotak besi masih meniti jalur dengan slogan "alon-alon asal klakon". Terkadang bayang rimbunan daun yang menjulang ke bawah teduhi nasib para penumpang. Di antara mereka ada yang meringis, ada pula yang merinth. Bahkan, ada yang meronta. Namun, itu semua hanya sebatas fiktif belaka, dariku, Penulis yang ingin lebih berbaur dengan cerita.
Sebuah seragam tanpa nama tergeletak dibawah kursi kayu salah seorang penumpang yang tak kelihatan batang hidungnya. Ada disana. Ya, tepat dimana kau mengdongakkan kepala. Lihat? Ya, bagus jika ternyata kau saksikan, aku hanya ingin mengemukakan dua buah tanya padamu, "Apa kiranya yang ada di dalam seragam itu?". Jangan hanya menggeleng saja, berikan aku jawab yang berpendar didalam pikiran itu. Masih terkatup juga bibirmu, meskipun perhatian masih kau curahkan pada selembar perca dari seragam itu................
"Zreeekh!!", ah, apa ini? Aku terbangun, ternyata semuanya hanya mimpi belaka. Gesekan rem kendaraan ini telah kembalikan kesadaranku seperti sedia kala. Tapi, tunggu, aku sedang mencoba menyulam kembali tiap kejadian mimpi tadi. Aku pejamkan mata sambil berharap dapat mengumpulkan pecahan-pecahan mimpi yang berhamburan. Ku jejalkan pandangan pada gelapnya kelopak tertutup, tapi, "Akkkhhhh, aku tak sanggup lagi mengingatnya". Kotak besi roda empat tetap melaju dengan kecepatan acak kacau.
Hingga..... Kerindangan nyiur telah melambai, desir pasir ditiup angin pun sudah menyapa. Kami tiba dengan didendang camar yang seakan merayap pada awan putih di atas sana. Semuanya turun, mulai menjejakkan kaki pada gemilang pasir putih. Setidaknya hanya ada sedikit sampah disini. Kemudian, "1.... 2..... 3....." Berjamaahlah kami bersujud pada pesisir yang telah sedikit kami capai dengan perjalanan panjang. Begitu panjang hingga kami berkali-kali menguap, batuk, bersendawa, mengedipkan mata, menelan ludah, meludah, meliuk, memutar balikkan pandangan, mengayunkan kaki, meregang otot, menggaruk kulit, merasakan belai hembusan alam, dan masih banyak hal lainnya yang telah kami rasakan.
Akhirnya, kami tiba dengan penuh bebas. Terima kasih, Kotak besi berjalan, dan terimakasih Pak Sopir tercinta. Tanpa kalian, kami tidak akan pernah bisa kembali ke kampung halaman tercinta.
Akhirnya, kami tiba dengan penuh bebas. Terima kasih, Kotak besi berjalan, dan terimakasih Pak Sopir tercinta. Tanpa kalian, kami tidak akan pernah bisa kembali ke kampung halaman tercinta.
Kampung Pesisir.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar