Bulir kecoklatan menguap dari pori - pori kulit yang nampak lusuh itu. Sesekali
dia tempelkan lengannya untuk mengusap kening yang basah ditumpahi peluh
bercampur debu dari sekitarnya. Di sana ,
beragam suara keramaian meledak bak desingan dan dentuman mesin bubut.
Disekitar itu juga, para lelaki tak kenal lelah mendengus, bekerja keras
layaknya sapi perah. Tak hanya itu, pemandangan akan simpul-simpul otot juga terbentang
disepanjang lapak jalan itu, sejauh mata memandang.
Namun, ada satu yang nampak berbeda
disana. Seorang perempuan tua, kira-kira sudah berumur berkisar antara 50-56
tahun. Pakaiannya lusuh dibalur debu yang dilayang oleh angin. Di lehernya
nampak tergantung selembar handuk berwarna pink dengan sebuah tulisan hasil
sulaman pada sudut kanannya. Dari kejauhan, perempuan tua itu terlihat piawai
mengangkat koper beserta dengan barang-barang lain dari para penumpang yang
ingin berlabuh atau yang telah sampai ditempat tujuannya. Namun, meskipun
terdapat seorang perempuan tua yang mengangkat barang-barang berat, anehnya,
tidak ada satu orangpun disana yang nampak terkesima atau terkejut melihatnya.
Dia bernama Sutiyem, yaitu seorang
buruh pelabuhan yang kesehariannya bekerja sebagai kuli angkut di pelabuhan
itu. Sutiyem adalah seorang ibu yang telah memiliki 3 orang anak, yang 2 orang diantaranya
adalah perempuan. Dia adalah seorang istri yang sudah sejak lama ditinggal mati
oleh suaminya karena kecelakaan. Sejak saat itulah, demi memenuhi kebutuhan
dirinya dan ketiga anaknya yang masih kecil, Sutiyem rela bekerja keras
membanting tulang. Dia adalah seorang perempuan tua yang hanya sempat mengenyam
bangku SMP, jadi, wajar jika pekerjaan yang saat ini dilakoninya hanya sebagai
seorang pencuci dan penstrika pakaian orang lain, termasuk menjadi buruh atau
kuli pelabuhan ditempat kelahirannya sendiri.
Ironi yang tak dapat ditampik,
seorang Ibu yang begitu menyayangi ketiga anaknya mampu melakoni salah satu
pekerjaan yang sebenarnya hanya pantas dilakukan oleh kaum lelaki, terutama lelaki
muda. Bayangkan saja, seorang perempuan tua, dalam kesehariannya mengangkat
beban yang beratnya berpuluh-puluh kilo hanya demi mencari sesuap nasi untuk
ketiga anaknya. Seharusnya, disaat ini, Sutiyem sudah dapat merasakan
ketenangan dalam menghabiskan masa-masa tuanya dengan melakukan pekerjaan yang
ringan saja. Namun apadaya, sang suami telah dipanggil oleh sang Ilahi, dan
seiring itu pun, kehidupan Sutiyem dan ketiga anaknya harus tetap berlanjut.
Hanya keikhlasan dan kerja keras yang dapat dilakukan demi menghidupi
anak-anaknya.
Di antara ketiga pekerjaan yang
tengah digelutinya itu, penghasilan yang terbilang lumayan hanya didapatkannya
dari buruh pelabuhan. Karena satu bulan upah dari mencuci dan menstrika pakaian
orang lain hanya Rp. 125.000, sedangkan dari pekerjaannya sebagai buruh,
perhari dia mampu menghasilkan Rp. 12.500,- perhari. Pekerjaan yang sangat
berat sedang digandrungi oleh sutiyem. Pada pukul 3 pagi, sutiyem sudah harus
bangun untuk mencuci dan menjemur pakaian orang lain dan memasak sarapan untuk
ketiga anaknya. Setelah itu, dia segera pergi menuju pelabuhan untuk bekerja
keras dibawah terik matahari yang begitu menyengat seluruh tubuh. Dari pukul
04.30 sampai dengan 17.00, sutiyem bekerja sebagai kuli angkut dipelabuhan itu.
tak hanya berakhir disitu, sebab setelah pulang dari pelabuhan, dia harus
segera mengangkat jemuran dan memasak untuk ketiga anaknya, lalu kemudian
segera menggeluti pekerjaan terkahirnya, yaitu menyetrika pakaian majikannya.
Begitulah fase kehidupannya sehari-hari. Kelelahan yang menumpuk tak lagi menjadi
persoalan penting. Meski terkadang, karena terlalu lelah, dia kerap jatuh
sakit, namun, dia tetap pergi bekerja seperti biasanya. Alasan yang paling
tepat adalah karena desakan kebutuhan ekonomi yang datang secara mendadak akan
selalu siap menghampirinya setiap saat. Berbagai desakan tersebut diantaranya
adalah keperluan sekolah dari 2 orang anak perempuannya, yang satu masih
menginjak bangku Sekolah Dasar, kelas 3, sedangkan yang satunya lagi baru
memasuki kelas I SMP, belum lagi ditambah dengan keperluan kehidupan lainnya,
sedangkan akumulasi upah perbulan dari ketiga pekerjaannya hanya menghasilkan
Rp. 500.00,-, lalu, apabila dia tetap tidak bekerja pada waktu sakit, bagaimana
dia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya? Sebuah pertanyaan
besar yang hanya bisa dijawab dengan terus bekerja tanpa memperhatikan kondisi
tubuh.
Iyem, itulah panggilan dari tetangga
terhadapnya. Mereka, para tetangga begitu jauh berbeda dengannya, karena
masing-masing dari mereka masih memiliki suami yang dapat bekerja untuk
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Namun, terkadang, sebagian dari mereka
juga kerap bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk sekedar mencari tambahan
penghasilan lainnya, meskipun suaminya bekerja. Di kampung ini, satu-satunya
perempuan yang memegang jabatan sebagai kepala keluarga hanyalah sutiyem
seorang. Mengulang sedikit kisah lalu, pada bulan pertama setelah meninggal
suaminya, sutiyem hanya bisa menangis tersedu-sedu apabila teringat akan
mendiang suaminya itu. Di saat itu juga, harta peninggalan dari sang suami pun
tidak bersisa sama sekali, karena semuanya sudah habis untuk membayar biaya
percobaan penyelamatan suaminya sewaktu di rumah sakit. Ditengah kesedihan dan
keterdesakan ekonomi itulah, kemudian sutiyem mencoba bangkit untuk mencari
pekerjaan. Awalnya sutiyem mencoba pergi kepelabuhan dengan maksud untuk
melamar menjadi cleaning service, tetapi, lamaran pekerjaannya ditolak
mentah-mentah oleh petugas perekrut pegawai disana karena syarat untuk melamar
menjadi seorang cleaning service, minimal adalah lulusan SMA. Akhirnya, sutiyem
berjalan pulang dengan tangan hampa. Harapan yang sebelumnya dapat pulang
dengan tangan usai menggenggam tangkai sapu dan kain pel musnah sudah. Sekeluarnya
dari kantor yang menolaknya mentah-mentah, sutiyem memperhatikan sekelilingnya.
Dia sadar bahwa sekarang sedang berada dipelabuhan. Terlintas dibenaknya untuk
menanyakan kepada seseorang bagaimana cara untuk menjadi kuli angkut disana.
Tanpa panjang lebar, kemudian sutiyem memberanikan diri untuk menanyakan hal
tersebut kepada salah satu buruh lelaki yang sedang istirahat sejenak sekedar
untuk mengusir peluhnya yang sudah menyebar ke seantero tubuhnya. Pada saat
sutiyem bertanya, tiba-tiba lelaki itu tertawa dengan terbahak-bahak,
sampai-sampai, air yang tadi dia teguk dan belum sempat dimasukkan ke dalam
kerongkongannya muncrat dan sedikit mengenai pakaian yang dikenakan oleh Sutiyem.
Kontan saja sutiyem bertanya-tanya didalam hatinya kenapa jawaban dari lelaki
ini adalah tawaan yang membahak. Akan tetapi, meskipun demikian, sutiyem tidak
ragu untuk mengulang kembali pertanyaan yang tadi telah dia lontarkan kepada
lelaki tersebut. akhirnya, setelah tawanya berhenti, sutiyem kembali mengulang
pertanyaannya tadi, dan lelaki itu pun segera menyadari bahwa sutiyem tidak
main-main akan pertanyaannya tadi, lalu lelaki itupun langsung menjawab
pertanyaan tadi dengan serius. Dalam jawabannya, lelaki itu mengatakan
sebenarnya perempun tidaklah pantas untuk bekerja disini, menjadi kuli angkut
ditempat yang penuh dengan berbagai aroma tidak mengenakkan dan merupakan rumah
bagi binatang pengerat ini. Akan tetapi, karena sutiyem tetap memaksakan diri,
akhirnya lelaki tadipun membawa sutiyem kepada petugas pelabuhan untuk meminta
izin agar sutiyem dapat bekerja menjadi buruh dipelabuhan tersebut. tanpa
panjang lebar, setelah diperkenalkan kepada petugas, sutiyempun langsung di
izinkan untuk bekerja sebagai kuli angkut disana. Inilah sedikit cerita yang
menghiasi masa lalu ibu dari tiga anak ini.
Hari ini, kondisi tubuh sutiyem
sedang tidak sehat, tapi, seperti biasanya, dia tetap memaksakan dirinya untuk
pergi mencari nafkah bagi keluarganya. Setelah selesai menjemur pakaian hasil
cuciannya, setelah sebelumnya sarapan terlebih dahulu, dia segera berangkat di
saat matahari belum bangun dari tidurnya. Sebelum berangkat, tak lupa dia
mencium kening anak-anaknya, setelah itu bergegas dia berangkat dengan
bermodalkan sepeda yang usang yang sudah lama dibelinya melalui sisihan sedikit
demi sedikit dari upahnya mencuci dan menyetrika pakaian. Dengan nafas yang
berat, sutiyem mengayuh laju sepedanya melewati tajamnya udara diwaktu subuh
ini. Sebenarnya, kepala sutiyem terasa sangat pusing sekali, tapi, sekalipun
begitu, dia tetap mempertahankan kondisi sepedanya dengan konsentrasi penuh
agar tidak oleng berjalan di atas jalanan non aspal becek yang semalam habis
diguyur hujan. Semangat yang dimilikinya telah mengalahkan rasa sakit yang
sedang dialaminya. Hanya semangatlah yang menjadi pegangannya saat ini karena
tanpa itu, dia menyadari bahwa dia tidak akan bisa apa-apa. Hanya tiga semangat
yang dimilikinya, yang pertama adalah semangat untuk membeli sembako. Yang
kedua adalah untuk membeli dan membiayai perlengkapan sekolah kedua anaknya,
dan yang terakhir adalah untuk membeli berbagai kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan oleh pertumbuhan anak terakhirnya yang masih berumur 4 tahun, yang
dalam kesehariannya, pada saat sutiyem bekerja, dititipkan kepada tetangganya.
Sutiyem merasa sangat bersyukur, karena memiliki tetangga yang bersedia untuk
menjaga anaknya tanpa pamrih selama dia sedang mencari nafkah.
Tak lama setelah sekitar 30 menit
mengayuh sepedanya, sutiyem pun sampai dipelabuhan. Disana, dia segera membuka
tas, lalu mengeluarkan selembar kain berwarna pink yang tetap terjaga kualitas
warnanya. Sebelum meletakkan handuk itu keatas lehernya, dia terlebih dahulu
melihat tulisan tertera disudut kanan handuk tersebut. tulisan yang tertera
adalah “Untuk Ibu”,
yang disulam dengan benang berwarna emas. Itu merupakan satu-satunya kenangan
terindah dan terpenting yang pernah diberikan secara khusus kepadanya pada
waktu suaminya masih hidup. Sutiyem selalu menjaga dan merawat kenang-kenangan
itu dengan sepenuh kasihnya. Dia menyayangi handuk itu, seperti dia menyayangi
anak-anaknya. Hanya saja, kelebihan dari handuk itu, dia selalu menemani
sutiyem disaat bekerja. Sutiyem berjalan menghampiri seorang lelaki, teman
seperburuhannya. Dia adalah seorang lelaki yang terlihat masih gagah. Di lihat
dari raut wajah dan postur tubuhnya, lelaki itu berusia kurang lebih sekitar 35
tahun. Usia yang lumayan jauh terpaut dibawah usia sutiyem. Sutiyem
memperhatikan sekelilingnya. Teman-teman seperburuhan lainnya, ternyata juga
sudah memadati lapak pelabuhan itu, ditambah lagi dengan banyaknya orang-orang
yang berdatangan untuk menyambut atau menjemput sanak saudaranya yang pulang
kekampung halamannya. Tak lama kemudian, suara nyaring memakak telinga
terdengar keras dari kejauhan. Itu kapal yang berangkat tadi malam dan baru
akan sampai sebentar lagi dipelabuhan ini. Sutiyem dan para buruh lainnya
nampak terlihat sibuk mempersiapkan diri masing-masing mengumpulkan tenaga
untuk mengangkat muatan yang akan diturunkan oleh kapal.
Kapal sudah menurunkan jangkarnya dan
merapat ketepian dermaga. Mesinnya telah dimatikan oleh sang nahkoda. Terlihat
tambang besar diturunkan kebawah oleh para awak kapal, dan dibawahnya sudah
menunggu tiga orang yang siap untuk menyambut dan melilitkan tambang tersebut pada
besi elips besar yang tetanam ditanah dan sudah karatan. Tak lama kemudian,
terlihat perlahan para penumpang turun dari kapal. Awalnya ketertiban para
penumpang itu masih terjaga, tapi lama kelamaan, terlihat beberapa orang yang
menyalip penumpang lainnya sehingga memicu penumpang lainnya untuk
berdesak-desakan, dan akhirnya semua penumpangpun berlomba-lomba keluar dari
kapal. Nampak terlihat suasana tidak lagi tertib, namun ini adalah peristiwa
yang sudah biasa terjadi dipelabuhan. Sutiyem dan teman-teman seperburuhannya
tidak lagi heran dengan keadaan ini, karena inilah kehidupan asli pelabuhan.
Tak menunggu lama, setelah seluruh
penumpang keluar dari kapal, seluruh buruh pelabuhan, termasuk sutiyem segera
menaiki kapal untuk bongkar muat muatan kapal yang akan diturunkan. Di sisi
kiri, sutiyem melihat teman-temannya sedang bersiap-siap untuk memikul berbagai
barang kemasan hasil pertanian di atas pundaknya. Begitupun sutiyem,
pertama-tama dia memilih untuk memikul sekarung beras dengan berat 40 kg. Dengan
piawai, meskipun kesehatannya sedang dilanda oleh sakit, dia membungkukkan
tubuh dan segera mengangkat beras itu keatas pundaknya. Dengan perlahan dia
berjalan menuju gudang penyimpanan barang angkutan tersebut dan segera kembali
lagi ke kapal untuk mengangkut barang-barang lainnya. Lima rit sudah telah dilewati oleh sutiyem.
Dengan dengus nafas yang tiap menit kian memburu, sutiyem terus memaksakan
tubuhnya yang sedang sakit itu mengangkat beban yang begitu berat bahkan bagi
ukuran lelaki sekalipun. Akan tetapi, tidak seperti biasanya, sakit yang
dialami sutiyem kali ini begitu terasa berat olehnya. Biasanya, pada kondisi
sakit, dia masih mampu mengangkut barang hingga sampai 12 rit, tapi kali ini
berbeda dengan biasanya, karena dia hanya mampu mencapai titik puncaknya sebanyak
5 rit saja. Meskipun nafasnya makin tersengal, Sutiyem dengan sisa-sisa
tenaganya tetap mencoba memaksakan dirinya mengangkut beberapa rit lagi. Saat
ini dia mencoba untuk melakukan rit ke 6-nya. Dia mulai membungkukkan tubuhnya
dan menggenggam sekarung beras untuk dibebankan keatas pundaknya. Namun, ketika
beras menghinggapi tubuhnya, seketika itulah dirinya roboh tak berdaya dan tak
sadarkan diri dengan posisi tertindih oleh sekarung beras. Para
buruh lain yang melihat kejadian itu tergopoh-gopoh lari menghampiri Sutiyem dan
secepat mungkin membawanya kedalam ruangan kesehatan yang ada dipelabuhan
tersebut. Tubuh Sutiyem dibaringkan ke atas tempat tidur oleh salah satu buruh
yang mengangkatnya tadi, kemudian buruh tadi segera berlari keluar ruangan dengan
cepat…………………………
Tak lama kemudian seseorang berbaju
putih datang menghampiri Sutiyem yang terbaring tak sadarkan diri. Dia adalah
seorang dokter pelabuhan yang memang ditugaskan oleh pemerintah daerah untuk
menangani siapapun yang mengalami gangguan kesehatan di pelabuhan ini. Dengan
cepat sang dokter mengeluarkan perlengkapannya untuk memeriksa Sutiyem. Saat
sedang memeriksa, mendadak wajah dokter nampak begitu terkejut. Sutiyem
mengidap kanker parah! Dokter mengeluarkan handphonenya dan menelpon ambulan
untuk membawa Sutiyem ke rumah sakit terdekat. Beberapa menit kemudian,
kedatangan ambulan yang telah dinanti tiba dengan cepat. Para
petugas medis segera meletakkan tubuh Sutiyem keatas tandu dan dimasukkan ke
dalam ambulan. Secepat kilat ambulan melesat menuju ke rumah sakit.
Dikampungnya, anak-anak dan tetangganya belum ada yang tahu bahwa Sutiyem roboh
tak sadarkan diri dan dibawa menuju rumah sakit. Dokter yang tadi menangani Sutiyem
keluar dari ruang kesehatan dan memanggil salah seorang buruh pelabuhan untuk
memberitakan hal ini kepada keluarga Sutiyem dan menjemput keluarganya dengan
mobil pribadi dokter itu untuk dibawa kerumah sakit. Segera setelah dimintai
oleh dokter, buruh itu bergegas berangkat menuju rumah Sutiyem. Setiba disana,
buruh itu langsung mengabarkan kepada anak tertua Sutiyem. Mendengar berita
itu, anak Sutiyem segera mengganti baju dan memanggil kedua adiknya untuk pergi
ke rumah sakit………
Tak berapa lama kemudian, mereka
telah memasuki rumah sakit. Itu terlihat dari mobil dokter tadi yang telah
terparkir pada lapangan parkir rumah sakit. Ternyata sekarang mereka sudah
berada diruang tunggu. Disana, terlihat juga buruh yang merupakan teman kerja
Sutiyem yang tadi menjemput anak-anaknya dan dua orang perempuan yang merupakan
tetangga dekat Sutiyem. Duduk pun terasa tidak mengenakkan bagi anak tertua Sutiyem
yang sudah memahami apa yang terjadi pada Ibundanya. Sedangkan kedua adiknya
terlihat sibuk mondar-mandir kesana kemari dengan senyum dan tawa khas terhias
diwajahnya masing-masing. Di ruang tunggu, ternyata juga sudah hadir dokter
yang bertugas dipelabuhan tadi. dia berjalan mendekati anak tertua Sutiyem,
kelihatannya hendak menyampaikan suatu hal kepadanya. Di hadapan anak Sutiyem
itu, sang dokter dengan perlahan menyampaikan bahwa ketabahan adalah kepasrahan
yang dilandasi dengan ketulusan yang diniatkan untuk menyerahkan segalanya
kepada Allah SWT. Disamping itu, sang dokter juga menyampaikan bela sungkawa
atas kejadian yang menimpa Ibundanya, dan pada kalimat terakhirnya, dokter
menyampaikan rentetan kalimat yang begitu pahit dan terasa sulit untuk
diterima, bahwa Ibunda yang kalian sayangi ternyata mengidap kanker stadium 4,
dan kemungkinan untuk selamat dan sembuh hanya sebesar 1:100. Tetesan air mata
terasa hangat mengucur membasahi kedua belah pipi anak tertua sutiyem. Dia
seakan tidak percaya dengan perkataan dokter tadi, tapi itu adalah
kenyataannya. Bagaimana dia dapat menerima kenyataan itu. Namun, setelah itu,
dokter menyarankan kepada anak tertua Sutiyem mengajak kedua adiknya untuk
mendoakan Ibundanya yang sedang dioperasi oleh tim medis rumah sakit.
Sudah 3 jam berlalu. Lampu ruang
operasi sudah berganti warna. Perlahan pintu ruang operasi akhirnya terbuka.
Terlihat seorang dokter sambil berjalan keluar sambil melepaskan masker yang
dia kenakan dimulutnya, dan menghampiri anak tertua Sutiyem yang berdiri
bersebelahan dengan dokter pelabuhan. Dokter pelabuhan menatap dokter rumah
sakit itu, dan seketika itulah dokter rumah sakit menggelengkan kepalanya
sambil menunduk dan mengucapkan satu kata, “Maaf”. Saat itu juga dokter
pelabuhan langsung tertunduk lemas mendengar bahasa tubuh dan ucapan dokter
rumah sakit itu. Dokter rumah sakit sudah berhadapan wajah dengan anak tertua
sutiyem dan langsung menyampaikan berita duka kepadanya, bahwa ternyata Allah
SWT berkehendak lain, berbeda dengan seluruh pengharapan kita. Hanyalah
ketabahan yang dibalut dengan keikhlasan yang dapat dilakukan. wajah sang anak
yang tadi belum sempat kering diguyur airmata sebelumnya kembali basah didera
derasnya terjunan air mata yang lebih deras dari sebelumnya. Akhirnya, karena
tak kuat lagi menahan kepedihan, sang anak pun syok dan terjatuh pingsan
dilantai. Dengan tak sadarkan diri, dia tidak lagi mengingat apapun, termasuk
rasa pahit kehilangan seorang Ibunda yang selama ini telah berkorban
habis-habisan dalam merawat dan membesarkan mereka dengan ribuan juta kali
lipat kasih sayang itu. Sementara kedua adiknya masih terlihat tersenyum dan
bermain riang gembira tanpa tahu apa yang telah terjadi pada Ibunda dan
bagaimana cara mereka menghadapi kehidupan pasca kehilangan ini. Saat ini semua
gelap. Tak terbaca oleh siapapun. Hanya satu kalimat yang selama ini diketahui
oleh ketiga anaknya. Kalimat itu adalah “TERIMAKASIH,
IBU. KAMI SEMUA SAYANG IBU”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar