Minggu, 15 Januari 2012

Ibu, Pelabuhan dan Hilang



Bulir kecoklatan menguap dari pori - pori kulit yang nampak lusuh itu. Sesekali dia tempelkan lengannya untuk mengusap kening yang basah ditumpahi peluh bercampur debu dari sekitarnya. Di sana, beragam suara keramaian meledak bak desingan dan dentuman mesin bubut. Disekitar itu juga, para lelaki tak kenal lelah mendengus, bekerja keras layaknya sapi perah. Tak hanya itu, pemandangan akan simpul-simpul otot juga terbentang disepanjang lapak jalan itu, sejauh mata memandang.
Namun, ada satu yang nampak berbeda disana. Seorang perempuan tua, kira-kira sudah berumur berkisar antara 50-56 tahun. Pakaiannya lusuh dibalur debu yang dilayang oleh angin. Di lehernya nampak tergantung selembar handuk berwarna pink dengan sebuah tulisan hasil sulaman pada sudut kanannya. Dari kejauhan, perempuan tua itu terlihat piawai mengangkat koper beserta dengan barang-barang lain dari para penumpang yang ingin berlabuh atau yang telah sampai ditempat tujuannya. Namun, meskipun terdapat seorang perempuan tua yang mengangkat barang-barang berat, anehnya, tidak ada satu orangpun disana yang nampak terkesima atau terkejut melihatnya.
Dia bernama Sutiyem, yaitu seorang buruh pelabuhan yang kesehariannya bekerja sebagai kuli angkut di pelabuhan itu. Sutiyem adalah seorang ibu yang telah memiliki 3 orang anak, yang 2 orang diantaranya adalah perempuan. Dia adalah seorang istri yang sudah sejak lama ditinggal mati oleh suaminya karena kecelakaan. Sejak saat itulah, demi memenuhi kebutuhan dirinya dan ketiga anaknya yang masih kecil, Sutiyem rela bekerja keras membanting tulang. Dia adalah seorang perempuan tua yang hanya sempat mengenyam bangku SMP, jadi, wajar jika pekerjaan yang saat ini dilakoninya hanya sebagai seorang pencuci dan penstrika pakaian orang lain, termasuk menjadi buruh atau kuli pelabuhan ditempat kelahirannya sendiri.
Ironi yang tak dapat ditampik, seorang Ibu yang begitu menyayangi ketiga anaknya mampu melakoni salah satu pekerjaan yang sebenarnya hanya pantas dilakukan oleh kaum lelaki, terutama lelaki muda. Bayangkan saja, seorang perempuan tua, dalam kesehariannya mengangkat beban yang beratnya berpuluh-puluh kilo hanya demi mencari sesuap nasi untuk ketiga anaknya. Seharusnya, disaat ini, Sutiyem sudah dapat merasakan ketenangan dalam menghabiskan masa-masa tuanya dengan melakukan pekerjaan yang ringan saja. Namun apadaya, sang suami telah dipanggil oleh sang Ilahi, dan seiring itu pun, kehidupan Sutiyem dan ketiga anaknya harus tetap berlanjut. Hanya keikhlasan dan kerja keras yang dapat dilakukan demi menghidupi anak-anaknya.
Di antara ketiga pekerjaan yang tengah digelutinya itu, penghasilan yang terbilang lumayan hanya didapatkannya dari buruh pelabuhan. Karena satu bulan upah dari mencuci dan menstrika pakaian orang lain hanya Rp. 125.000, sedangkan dari pekerjaannya sebagai buruh, perhari dia mampu menghasilkan Rp. 12.500,- perhari. Pekerjaan yang sangat berat sedang digandrungi oleh sutiyem. Pada pukul 3 pagi, sutiyem sudah harus bangun untuk mencuci dan menjemur pakaian orang lain dan memasak sarapan untuk ketiga anaknya. Setelah itu, dia segera pergi menuju pelabuhan untuk bekerja keras dibawah terik matahari yang begitu menyengat seluruh tubuh. Dari pukul 04.30 sampai dengan 17.00, sutiyem bekerja sebagai kuli angkut dipelabuhan itu. tak hanya berakhir disitu, sebab setelah pulang dari pelabuhan, dia harus segera mengangkat jemuran dan memasak untuk ketiga anaknya, lalu kemudian segera menggeluti pekerjaan terkahirnya, yaitu menyetrika pakaian majikannya. Begitulah fase kehidupannya sehari-hari. Kelelahan yang menumpuk tak lagi menjadi persoalan penting. Meski terkadang, karena terlalu lelah, dia kerap jatuh sakit, namun, dia tetap pergi bekerja seperti biasanya. Alasan yang paling tepat adalah karena desakan kebutuhan ekonomi yang datang secara mendadak akan selalu siap menghampirinya setiap saat. Berbagai desakan tersebut diantaranya adalah keperluan sekolah dari 2 orang anak perempuannya, yang satu masih menginjak bangku Sekolah Dasar, kelas 3, sedangkan yang satunya lagi baru memasuki kelas I SMP, belum lagi ditambah dengan keperluan kehidupan lainnya, sedangkan akumulasi upah perbulan dari ketiga pekerjaannya hanya menghasilkan Rp. 500.00,-, lalu, apabila dia tetap tidak bekerja pada waktu sakit, bagaimana dia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya? Sebuah pertanyaan besar yang hanya bisa dijawab dengan terus bekerja tanpa memperhatikan kondisi tubuh.
Iyem, itulah panggilan dari tetangga terhadapnya. Mereka, para tetangga begitu jauh berbeda dengannya, karena masing-masing dari mereka masih memiliki suami yang dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Namun, terkadang, sebagian dari mereka juga kerap bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk sekedar mencari tambahan penghasilan lainnya, meskipun suaminya bekerja. Di kampung ini, satu-satunya perempuan yang memegang jabatan sebagai kepala keluarga hanyalah sutiyem seorang. Mengulang sedikit kisah lalu, pada bulan pertama setelah meninggal suaminya, sutiyem hanya bisa menangis tersedu-sedu apabila teringat akan mendiang suaminya itu. Di saat itu juga, harta peninggalan dari sang suami pun tidak bersisa sama sekali, karena semuanya sudah habis untuk membayar biaya percobaan penyelamatan suaminya sewaktu di rumah sakit. Ditengah kesedihan dan keterdesakan ekonomi itulah, kemudian sutiyem mencoba bangkit untuk mencari pekerjaan. Awalnya sutiyem mencoba pergi kepelabuhan dengan maksud untuk melamar menjadi cleaning service, tetapi, lamaran pekerjaannya ditolak mentah-mentah oleh petugas perekrut pegawai disana karena syarat untuk melamar menjadi seorang cleaning service, minimal adalah lulusan SMA. Akhirnya, sutiyem berjalan pulang dengan tangan hampa. Harapan yang sebelumnya dapat pulang dengan tangan usai menggenggam tangkai sapu dan kain pel musnah sudah. Sekeluarnya dari kantor yang menolaknya mentah-mentah, sutiyem memperhatikan sekelilingnya. Dia sadar bahwa sekarang sedang berada dipelabuhan. Terlintas dibenaknya untuk menanyakan kepada seseorang bagaimana cara untuk menjadi kuli angkut disana. Tanpa panjang lebar, kemudian sutiyem memberanikan diri untuk menanyakan hal tersebut kepada salah satu buruh lelaki yang sedang istirahat sejenak sekedar untuk mengusir peluhnya yang sudah menyebar ke seantero tubuhnya. Pada saat sutiyem bertanya, tiba-tiba lelaki itu tertawa dengan terbahak-bahak, sampai-sampai, air yang tadi dia teguk dan belum sempat dimasukkan ke dalam kerongkongannya muncrat dan sedikit mengenai pakaian yang dikenakan oleh Sutiyem. Kontan saja sutiyem bertanya-tanya didalam hatinya kenapa jawaban dari lelaki ini adalah tawaan yang membahak. Akan tetapi, meskipun demikian, sutiyem tidak ragu untuk mengulang kembali pertanyaan yang tadi telah dia lontarkan kepada lelaki tersebut. akhirnya, setelah tawanya berhenti, sutiyem kembali mengulang pertanyaannya tadi, dan lelaki itu pun segera menyadari bahwa sutiyem tidak main-main akan pertanyaannya tadi, lalu lelaki itupun langsung menjawab pertanyaan tadi dengan serius. Dalam jawabannya, lelaki itu mengatakan sebenarnya perempun tidaklah pantas untuk bekerja disini, menjadi kuli angkut ditempat yang penuh dengan berbagai aroma tidak mengenakkan dan merupakan rumah bagi binatang pengerat ini. Akan tetapi, karena sutiyem tetap memaksakan diri, akhirnya lelaki tadipun membawa sutiyem kepada petugas pelabuhan untuk meminta izin agar sutiyem dapat bekerja menjadi buruh dipelabuhan tersebut. tanpa panjang lebar, setelah diperkenalkan kepada petugas, sutiyempun langsung di izinkan untuk bekerja sebagai kuli angkut disana. Inilah sedikit cerita yang menghiasi masa lalu ibu dari tiga anak ini.
Hari ini, kondisi tubuh sutiyem sedang tidak sehat, tapi, seperti biasanya, dia tetap memaksakan dirinya untuk pergi mencari nafkah bagi keluarganya. Setelah selesai menjemur pakaian hasil cuciannya, setelah sebelumnya sarapan terlebih dahulu, dia segera berangkat di saat matahari belum bangun dari tidurnya. Sebelum berangkat, tak lupa dia mencium kening anak-anaknya, setelah itu bergegas dia berangkat dengan bermodalkan sepeda yang usang yang sudah lama dibelinya melalui sisihan sedikit demi sedikit dari upahnya mencuci dan menyetrika pakaian. Dengan nafas yang berat, sutiyem mengayuh laju sepedanya melewati tajamnya udara diwaktu subuh ini. Sebenarnya, kepala sutiyem terasa sangat pusing sekali, tapi, sekalipun begitu, dia tetap mempertahankan kondisi sepedanya dengan konsentrasi penuh agar tidak oleng berjalan di atas jalanan non aspal becek yang semalam habis diguyur hujan. Semangat yang dimilikinya telah mengalahkan rasa sakit yang sedang dialaminya. Hanya semangatlah yang menjadi pegangannya saat ini karena tanpa itu, dia menyadari bahwa dia tidak akan bisa apa-apa. Hanya tiga semangat yang dimilikinya, yang pertama adalah semangat untuk membeli sembako. Yang kedua adalah untuk membeli dan membiayai perlengkapan sekolah kedua anaknya, dan yang terakhir adalah untuk membeli berbagai kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh pertumbuhan anak terakhirnya yang masih berumur 4 tahun, yang dalam kesehariannya, pada saat sutiyem bekerja, dititipkan kepada tetangganya. Sutiyem merasa sangat bersyukur, karena memiliki tetangga yang bersedia untuk menjaga anaknya tanpa pamrih selama dia sedang mencari nafkah.
Tak lama setelah sekitar 30 menit mengayuh sepedanya, sutiyem pun sampai dipelabuhan. Disana, dia segera membuka tas, lalu mengeluarkan selembar kain berwarna pink yang tetap terjaga kualitas warnanya. Sebelum meletakkan handuk itu keatas lehernya, dia terlebih dahulu melihat tulisan tertera disudut kanan handuk tersebut. tulisan yang tertera adalah “Untuk Ibu”, yang disulam dengan benang berwarna emas. Itu merupakan satu-satunya kenangan terindah dan terpenting yang pernah diberikan secara khusus kepadanya pada waktu suaminya masih hidup. Sutiyem selalu menjaga dan merawat kenang-kenangan itu dengan sepenuh kasihnya. Dia menyayangi handuk itu, seperti dia menyayangi anak-anaknya. Hanya saja, kelebihan dari handuk itu, dia selalu menemani sutiyem disaat bekerja. Sutiyem berjalan menghampiri seorang lelaki, teman seperburuhannya. Dia adalah seorang lelaki yang terlihat masih gagah. Di lihat dari raut wajah dan postur tubuhnya, lelaki itu berusia kurang lebih sekitar 35 tahun. Usia yang lumayan jauh terpaut dibawah usia sutiyem. Sutiyem memperhatikan sekelilingnya. Teman-teman seperburuhan lainnya, ternyata juga sudah memadati lapak pelabuhan itu, ditambah lagi dengan banyaknya orang-orang yang berdatangan untuk menyambut atau menjemput sanak saudaranya yang pulang kekampung halamannya. Tak lama kemudian, suara nyaring memakak telinga terdengar keras dari kejauhan. Itu kapal yang berangkat tadi malam dan baru akan sampai sebentar lagi dipelabuhan ini. Sutiyem dan para buruh lainnya nampak terlihat sibuk mempersiapkan diri masing-masing mengumpulkan tenaga untuk mengangkat muatan yang akan diturunkan oleh kapal.
Kapal sudah menurunkan jangkarnya dan merapat ketepian dermaga. Mesinnya telah dimatikan oleh sang nahkoda. Terlihat tambang besar diturunkan kebawah oleh para awak kapal, dan dibawahnya sudah menunggu tiga orang yang siap untuk menyambut dan melilitkan tambang tersebut pada besi elips besar yang tetanam ditanah dan sudah karatan. Tak lama kemudian, terlihat perlahan para penumpang turun dari kapal. Awalnya ketertiban para penumpang itu masih terjaga, tapi lama kelamaan, terlihat beberapa orang yang menyalip penumpang lainnya sehingga memicu penumpang lainnya untuk berdesak-desakan, dan akhirnya semua penumpangpun berlomba-lomba keluar dari kapal. Nampak terlihat suasana tidak lagi tertib, namun ini adalah peristiwa yang sudah biasa terjadi dipelabuhan. Sutiyem dan teman-teman seperburuhannya tidak lagi heran dengan keadaan ini, karena inilah kehidupan asli pelabuhan.
Tak menunggu lama, setelah seluruh penumpang keluar dari kapal, seluruh buruh pelabuhan, termasuk sutiyem segera menaiki kapal untuk bongkar muat muatan kapal yang akan diturunkan. Di sisi kiri, sutiyem melihat teman-temannya sedang bersiap-siap untuk memikul berbagai barang kemasan hasil pertanian di atas pundaknya. Begitupun sutiyem, pertama-tama dia memilih untuk memikul sekarung beras dengan berat 40 kg. Dengan piawai, meskipun kesehatannya sedang dilanda oleh sakit, dia membungkukkan tubuh dan segera mengangkat beras itu keatas pundaknya. Dengan perlahan dia berjalan menuju gudang penyimpanan barang angkutan tersebut dan segera kembali lagi ke kapal untuk mengangkut barang-barang lainnya. Lima rit sudah telah dilewati oleh sutiyem. Dengan dengus nafas yang tiap menit kian memburu, sutiyem terus memaksakan tubuhnya yang sedang sakit itu mengangkat beban yang begitu berat bahkan bagi ukuran lelaki sekalipun. Akan tetapi, tidak seperti biasanya, sakit yang dialami sutiyem kali ini begitu terasa berat olehnya. Biasanya, pada kondisi sakit, dia masih mampu mengangkut barang hingga sampai 12 rit, tapi kali ini berbeda dengan biasanya, karena dia hanya mampu mencapai titik puncaknya sebanyak 5 rit saja. Meskipun nafasnya makin tersengal, Sutiyem dengan sisa-sisa tenaganya tetap mencoba memaksakan dirinya mengangkut beberapa rit lagi. Saat ini dia mencoba untuk melakukan rit ke 6-nya. Dia mulai membungkukkan tubuhnya dan menggenggam sekarung beras untuk dibebankan keatas pundaknya. Namun, ketika beras menghinggapi tubuhnya, seketika itulah dirinya roboh tak berdaya dan tak sadarkan diri dengan posisi tertindih oleh sekarung beras. Para buruh lain yang melihat kejadian itu tergopoh-gopoh lari menghampiri Sutiyem dan secepat mungkin membawanya kedalam ruangan kesehatan yang ada dipelabuhan tersebut. Tubuh Sutiyem dibaringkan ke atas tempat tidur oleh salah satu buruh yang mengangkatnya tadi, kemudian buruh tadi segera berlari keluar ruangan dengan cepat…………………………
Tak lama kemudian seseorang berbaju putih datang menghampiri Sutiyem yang terbaring tak sadarkan diri. Dia adalah seorang dokter pelabuhan yang memang ditugaskan oleh pemerintah daerah untuk menangani siapapun yang mengalami gangguan kesehatan di pelabuhan ini. Dengan cepat sang dokter mengeluarkan perlengkapannya untuk memeriksa Sutiyem. Saat sedang memeriksa, mendadak wajah dokter nampak begitu terkejut. Sutiyem mengidap kanker parah! Dokter mengeluarkan handphonenya dan menelpon ambulan untuk membawa Sutiyem ke rumah sakit terdekat. Beberapa menit kemudian, kedatangan ambulan yang telah dinanti tiba dengan cepat. Para petugas medis segera meletakkan tubuh Sutiyem keatas tandu dan dimasukkan ke dalam ambulan. Secepat kilat ambulan melesat menuju ke rumah sakit. Dikampungnya, anak-anak dan tetangganya belum ada yang tahu bahwa Sutiyem roboh tak sadarkan diri dan dibawa menuju rumah sakit. Dokter yang tadi menangani Sutiyem keluar dari ruang kesehatan dan memanggil salah seorang buruh pelabuhan untuk memberitakan hal ini kepada keluarga Sutiyem dan menjemput keluarganya dengan mobil pribadi dokter itu untuk dibawa kerumah sakit. Segera setelah dimintai oleh dokter, buruh itu bergegas berangkat menuju rumah Sutiyem. Setiba disana, buruh itu langsung mengabarkan kepada anak tertua Sutiyem. Mendengar berita itu, anak Sutiyem segera mengganti baju dan memanggil kedua adiknya untuk pergi ke rumah sakit………
Tak berapa lama kemudian, mereka telah memasuki rumah sakit. Itu terlihat dari mobil dokter tadi yang telah terparkir pada lapangan parkir rumah sakit. Ternyata sekarang mereka sudah berada diruang tunggu. Disana, terlihat juga buruh yang merupakan teman kerja Sutiyem yang tadi menjemput anak-anaknya dan dua orang perempuan yang merupakan tetangga dekat Sutiyem. Duduk pun terasa tidak mengenakkan bagi anak tertua Sutiyem yang sudah memahami apa yang terjadi pada Ibundanya. Sedangkan kedua adiknya terlihat sibuk mondar-mandir kesana kemari dengan senyum dan tawa khas terhias diwajahnya masing-masing. Di ruang tunggu, ternyata juga sudah hadir dokter yang bertugas dipelabuhan tadi. dia berjalan mendekati anak tertua Sutiyem, kelihatannya hendak menyampaikan suatu hal kepadanya. Di hadapan anak Sutiyem itu, sang dokter dengan perlahan menyampaikan bahwa ketabahan adalah kepasrahan yang dilandasi dengan ketulusan yang diniatkan untuk menyerahkan segalanya kepada Allah SWT. Disamping itu, sang dokter juga menyampaikan bela sungkawa atas kejadian yang menimpa Ibundanya, dan pada kalimat terakhirnya, dokter menyampaikan rentetan kalimat yang begitu pahit dan terasa sulit untuk diterima, bahwa Ibunda yang kalian sayangi ternyata mengidap kanker stadium 4, dan kemungkinan untuk selamat dan sembuh hanya sebesar 1:100. Tetesan air mata terasa hangat mengucur membasahi kedua belah pipi anak tertua sutiyem. Dia seakan tidak percaya dengan perkataan dokter tadi, tapi itu adalah kenyataannya. Bagaimana dia dapat menerima kenyataan itu. Namun, setelah itu, dokter menyarankan kepada anak tertua Sutiyem mengajak kedua adiknya untuk mendoakan Ibundanya yang sedang dioperasi oleh tim medis rumah sakit.
Sudah 3 jam berlalu. Lampu ruang operasi sudah berganti warna. Perlahan pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Terlihat seorang dokter sambil berjalan keluar sambil melepaskan masker yang dia kenakan dimulutnya, dan menghampiri anak tertua Sutiyem yang berdiri bersebelahan dengan dokter pelabuhan. Dokter pelabuhan menatap dokter rumah sakit itu, dan seketika itulah dokter rumah sakit menggelengkan kepalanya sambil menunduk dan mengucapkan satu kata, “Maaf”. Saat itu juga dokter pelabuhan langsung tertunduk lemas mendengar bahasa tubuh dan ucapan dokter rumah sakit itu. Dokter rumah sakit sudah berhadapan wajah dengan anak tertua sutiyem dan langsung menyampaikan berita duka kepadanya, bahwa ternyata Allah SWT berkehendak lain, berbeda dengan seluruh pengharapan kita. Hanyalah ketabahan yang dibalut dengan keikhlasan yang dapat dilakukan. wajah sang anak yang tadi belum sempat kering diguyur airmata sebelumnya kembali basah didera derasnya terjunan air mata yang lebih deras dari sebelumnya. Akhirnya, karena tak kuat lagi menahan kepedihan, sang anak pun syok dan terjatuh pingsan dilantai. Dengan tak sadarkan diri, dia tidak lagi mengingat apapun, termasuk rasa pahit kehilangan seorang Ibunda yang selama ini telah berkorban habis-habisan dalam merawat dan membesarkan mereka dengan ribuan juta kali lipat kasih sayang itu. Sementara kedua adiknya masih terlihat tersenyum dan bermain riang gembira tanpa tahu apa yang telah terjadi pada Ibunda dan bagaimana cara mereka menghadapi kehidupan pasca kehilangan ini. Saat ini semua gelap. Tak terbaca oleh siapapun. Hanya satu kalimat yang selama ini diketahui oleh ketiga anaknya. Kalimat itu adalah “TERIMAKASIH, IBU. KAMI SEMUA SAYANG IBU”.
           
           
Meski tiada dapat terucap lewat lisan, namun tubuh bicara walaupun hanya bisa sedikit meringankan pekerjaanmu di rumah. Yang kami harap hanyalah sebuah senyuman yang senantiasa selalu menempel pada wajahmu yang telah bersemburat dimakan usia itu. Terimakasih, Ibu. Kami semua sayang Ibu”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar