Kehadiran
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan sebuah
langkah bijak yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menjamin sehatnya dunia
pekerjaan di Indonesia.
Namun, demi mewujudkan industri pekerjaan Indonesia
yang sehat, maka didalam sebuah undang-undang harus berisikan butir-butir pasal
yang dinilai memiliki efektifitas maksimal yang dapat dengan mudah dicapai.
Artinya, perumusan setiap pasal didalam undang-undang ketenagakerjaan ini harus
mencerminkan fleksibelitas yang tinggi dalam bidang pencegahan dan penyelesaian
yang memiliki relevansi terhadap permasalahan yang dirasa pernah terjadi maupun
yang diramalkan akan terjadi suatu saat nanti.
Setelah
di undangkannya undang-undang tentang ketenagakerjaan di Indonesia, hingga
sampai saat ini, efektifitas darinya dirasa belum dicapai seluruhnya. Di
lapangan praktis industri pekerjaan, masih kerap ditemui berbagai pelanggaran
atas beberapa ketentuan pasal dari undang-undang ketenagakerjaan. Ini merupakan
suatu krisis efektifitas yang dialami oleh undang-undang ketenagakerjaan itu
sendiri, dan memerlukan langkah sesegera mungkin untuk dilakukan sedikit perubahan,
namun akan membuat dampak Positif yang luar biasa dahsyatnya.
Dalam
dunia industri pekerjaan, berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan, pihak yang
diberikan wewenang untuk melakukan serangkaian tugas dan fungsi pengawasan
adalah Dinas Ketenagakerjaan. Selain dari instansi tersebut, tidak lagi ada
pengawas lainnya yang berwenang atau diberikan hak untuk mengawasi jalannya
industri pekerjaan di Indonesia.
Hal inilah yang dinilai dapat menghambat tercapainya efektifitas penertiban dan
penegakan hukum dalam bidang ketenagakerjaan.
Berkaca
kepada peraturan perundang-undangan lainnya, maka undang-undang ketenagakerjaan
dianggap memiliki sebuah ruang kosong yang dapat menyebabkan ketidak-efektif-an
dan ketidak-efisiensi-an dalam rangka penegakan hukumnya. Bisa kita bayangkan
betapa banyaknya partisipasi para pengusaha dan pekerja yang melakukan praktek
ketenagakerjaan di wilayah Indonesia
ini. Oleh karena banyaknya partisipasi tersebut, maka dibutuhkan peraturan yang
sangat kompleks yang bersifat fleksibel, praktis dan tidak statis untuk
melindungi pihak-pihak yang berkecimpung didalamnya. Salah satunya adalah
perlindungan bagi pekerja yang dirasa rentan terhadap penindasan berbagai
haknya oleh pihak pengusaha. Untuk itulah peran serta pemerintah melalui
instansi yang ditunjuk, diberikan legitimasi otoritas untuk menjalankan fungsi
perlindungan bagi para pekerja. Akan tetapi, peran pemerintah melalui
instansinya tersebut, hingga sampai saat ini nampaknya belum bisa dikategorikan
sebagai langkah yang seratus persen berhasil. Bahkan, mungkin dapat diasumsikan
bahwa keberhasilan yang diraih baru sebesar tujuh puluh persen saja. Sedangkan
sisanya lagi adalah kenakalan-kenalan yang masih dilakukan oleh pihak
pengusaha.
Bertitik
ukur dari uraian di atas, meskipun usaha yang dilakukan oleh pihak yang
bertanggung jawab terhadap industri pekerjaan sudah maksimal, akan tetapi tetap
tidak dapat menyentuh seluruh pihak pengusaha yang berpartisipasi dalam
industri ketenagakerjaan ini. Karena seiring waktu, lapangan industri pekerjaan
kian meluas dan berkembang dalam jumlah yang pesat. Dan akibatnya, instansi
yang diberikan wewenang tersebut dihadapkan dengan rasa kewalahan untuk menjalankan
fungsi serta tugasnya. Oleh karena itu, menurut penulis, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan harus dilakukan perubahan dengan menambah
satu perumusan BAB tentang Peran Serta Masyarakat dalam dunia ketenagakerjaan
agar dapat mencapai efektifitas penuh dari tujuan yang memang dikehendaki oleh
undang-undang tersebut, dan demi memberikan perlindungan yang bersifat fleksibel,
praktis dan tidak kaku bagi para pekerja dan seluruh pihak yang akan atau
sedang bergelut didalamnya. Karena dengan peran serta dari masyarakatlah,
fungsi pemerintah didalam bidang pertanggung jawaban ketenagakerjaan dirasa
akan mulus dan efektif perjalanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar