BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan yang sangat penting kiranya untuk membahas mengenai kisruh penyalahgunaan narkotika yang dari dulu dirasa tidak pernah ada habisnya. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa banyak generasi muda bangsa Indonesia yang gerak kehidupannya telah dikontrol oleh narkotika yang seharusnya menjadi suatu barang yang kaya akan manfaat positif bilamana digunakan dalam berbagai aspek keperluan pengobatan dan pengetahuan.
Sungguh miris apabila kita melirik kepada tunas-tunas muda bangsa kita yang telah terjerumus dan diperbudak oleh narkotika melalui jalan penyalahgunaan, padahal pemerintah Republik Indonesia hanya memperbolehkan penggunaan narkotika untuk kepentingan medis dan pengetahuan, dan melarang sepenuhnya penggunaan narkotika untuk diedarkan ataupun dikonsumsi bagi hal-hal yang tidak bertanggung jawab secara ilegal. Hal tersebut dikarenakan apabila narkotika digunakan bebas oleh masyarakat, maka efek yang didapat dari penggunaannya adalah penurunan pada fungsi otak. Disamping itu, penggunaan secara terus menerus juga berimbas kepada menurunnya sistem imunitas tubuh, bahkan dapat menyebabkan si pengguna meninggal dunia akibat penggunaan yang berlebihan (overdosis).
Membludaknya jumlah Pecandu Narkotika di Indonesia tak lepas dari peranan para Pengedar Narkotika. Apabila menilik lebih dalam tentang kejahatan yang berkaitan dengan penyalahgunaan ini, sebenarnya dapat dikatakan bahwasanya akar dari tingginya angka pecandu narkotika di Indonesia berasal dari para pengedar narkotika Ilegal. Secara langsung dengan perasaan tidak bersalah, mereka (Pengedar) telah menjerumuskan setiap korbannya hingga menjadi pengkonsumsi narkotika kedalam jurang kematian.
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada tahun 2011 dari awal bulan Januari hingga Maret, tercatat sedikitnya telah terjadi 51 kasus mengenai kejahatan narkotika. Selain itu pihak Kepolisian Bangka Belitung juga mencatat bahwa pelaku kejahatan narkotika di Babel meliputi mayoritas generasi muda pada usia produktif yakni 20-29 tahun dan usia remaja 16-19 tahun, bahkan ada indikasi kaum pelajar juga banyak yang terjerat barang memabukkan ini[1].
Fenomena penyalahgunaan narkotika kini sudah dipandang sebagai persoalan kritis yang ceritanya tak pernah berkesudahan. Tak hanya di Indonesia saja, di negara lain tindak pidana narkotika juga sudah di cap stempel sebagai persoalan yang sulit untuk diberantas. Sebenarnya, permasalahan yang menyangkut narkotika pun sudah dianggap sebagai salah satu kejahatan global yang sangat berbahaya apabila terus dibiarkan kelangsungannya.
Satu lagi keprihatinan atas keterlangsungan tindak pidana ini adalah dengan cepat dapat merambah dan tersebar keseluruh pelosok setiap jengkal daerah yang ada di Indonesia. Seperti yang terjadi pada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Banyak sekali penduduknya yang telah terinfeksi oleh benda terlarang konsumsi ini. Yang paling dikhawatirkan adalah lingkaran setan ini tak hanya berhenti sampai disitu, ia seperti sudah menjelma sebagai suatu penyakit yang mengorok dan dapat menjangkiti siapa saja tanpa peduli tingkat usia dan sosial.
Menurut perspektif hukum positif Indonesia, disamping merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh individu, tindak pidana narkotika juga dipandang sebagai suatu tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi yang didalamnya melibatkan sekumpulan orang dan kekayaan yang terorganisir. Korporasi menurut peraturan perundang-undangan narkotika adalah kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum[2]. Kiranya penting untuk selalu di ingat bahwa leader dari penyebarluasan narkotika ilegal adalah organisasi-organisasi illegal yang memiliki sumber kekayaan dari hasil pengembangan jaringan yang mereka usahakan. Semakin besar bentangan jaringan suatu organisasi, maka semakin banyak pula harta kekayaan atau sumber keuangan yang di peroleh dan akan digunakan untuk pendanaan dalam rangka penyebaran selanjutnya secara kontinyu yang mungkin tidak dapat lagi terhitung jumlah episodenya.
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan narkotika, Pemerintah Republik Indonesia telah menggolongkan jenis-jenis narkotika kedalam tiga golongan. Penjabaran penggolongan narkotika ini dapat ditemui didalam peraturan perundang-undangan lengkap beserta dengan penjelasannya, yaitu pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Perlu untuk diketahui bahwa Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Karena dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi, maka Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dicabut dan diganti dengan diberlakukannya peraturan baru yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Kehadiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memang merupakan suatu inovasi baru yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia atas ketidaksesuaian situasi dan kondisi yang lazimnya disebut dengan perkembangan zaman. Perumusan pasal-pasal yang ada didalam Undang-Undang itupun dianggap sebagai terobosan yang berani dalam hal penjatuhan sanksi pidana bagi para pengedar dan lebih mengedepankan sisi-sisi kemanusian terhadap para pihak yang mengalami kecanduan akan narkotika, dan masih banyak lagi keseimbangan serta keuntungan demi keadilan yang didapat dari undang-undang ini.
Berpedoman kepada undang-undang narkotika, didalamnya jelas tersirat bahwa pelaku penyalahgunaan narkotika merupakan pelaku tindak pidana terhadap narkotika itu sendiri. Namun, disela itu, sebenarnya undang-undang narkotika sendiri juga telah mengklasifikasikan para pelaku tersebut menjadi dua golongan yang antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun secara psikis.
2. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Secara umum, kurangnya sosialisasi informasi tentang pernyataan diatas kerap menjadi kekeliruan dalam anggapan masyarakat. Tingginya tingkat bahasa yang dipergunakan oleh pihak pemberi materi sosialisasi kepada masyarakat hingga menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan menyerapnya. Maka, seringkali masyarakat menganggap bahwa pecandu narkotika dan penyalah guna narkotika tersebut merupakan pelaku kejahatan yang sama statusnya.
Inilah permasalahan tentang kesalahpahaman dari masyarakat kita, dimana anggapan mereka terhadap kedua pelaku tersebut total telah melenceng dari kebenaran yang tergaris didalam undang-undang.
Jika ditelusuri lebih lanjut, apabila di tilik dari perspektif kejiwaan, sebenarnya kedua pelaku kejahatan narkotika ini jelas signifikan perbedaannya. Pada pecandu narkotika, hakekatnya mereka lebih tepat dikategorikan sebagai korban dari ulah tangan para penyalah guna narkotika yang melakukan kejahatan mengedarkan narkotika secara ilegal, baik perorangan ataupun korporasi. Itu karena, pecandu narkotika merupakan seseorang yang telah terjerumus akibat bujuk rayu dari penyalah guna narkotika yang berperan sebagai pengedar narkotika dan akhirnya memutuskan untuk mencoba mengkonsumsi narkotika hingga akhirnya menyebabkan ketergantungan terhadapnya. Memang benar, bahwa dalam hal ini, secara sadar mereka telah memutuskan untuk mengkonsumsi narkotika, namun yang menjadi acuan kita disini adalah tentang apa penyebab ketertarikan mereka sehingga memutuskan dengan sadar melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif Indonesia. Secara khusus, Pskiater (Ahli Kejiwaan) menganggap bahwa tidak tepat apabila Pecandu Narkotika diberikan sanksi pidana yang berupa penjatuhan pidana penjara, karena apabila memang itu yang diterapkan, maka yang terjadi adalah Pecandu Narkotika dapat mengalami depresi berat yang berpotensi tinggi mengganggu mental serta pemikirannya karena tidak mendapatkan bantuan dalam bentuk perawatan oleh pihak ahli dalam bidang psikologis. Ahli psikologis pun beranggapan bahwasanya pecandu narkotika adalah seseorang yang memerlukan bantuan riil yang bersifat psikologis dengan perlahan agar dapat terbebas dari pengaruh dan ketergantungan yang diakibatkan oleh narkotika. Dan solusi yang tepat untuk hal ini adalah dengan me-rehabilitasikan pecandu narkotika ke panti rehabilitasi medis atau sosial agar mendapatkan perawatan dari ahlinya sesuai dengan perintah dari undang-undang narkotika.
Sedangkan untuk Penyalah Guna Narkotika yang berupa Pengedar Narkotika, mereka dapat berupa orang perseorangan atau korporasi yang bergerak dalam peredaran narkotika secara illegal, yang artinya berlawanan dengan hukum demi meraup keuntungan materi sebesar-besarnya dari hasil penyebarluasan melalui metode penjualan tidak resmi yang mereka lakukan. Penyalah guna narkotika jenis inilah yang telah mencemari pemikiran para pemuda dan pemudi Indonesia sehingga menyebabkan pengrusakan moral, daya pikir, dan kesehatan sampai berujung kepada akhir dari segalanya, yaitu kematian. Akan tetapi, yang senantiasa harus di ingat adalah bahwa penyalah guna narkotika juga dapat menjadi korban dari penyalahgunaan narkotika hingga akhirnya menjadi pecandu narkotika.
Penjelasan diatas seharusnya menjadi asupan baru bagi masyarakat yang selama ini masih berpegang teguh atas anggapan bahwa baik pecandu atau penyalah guna narkotika dipandang sama derajat perbuatannya. Akan tetapi sesungguhnya hakekat dari pecandu narkotika dan penyalah guna narkotika tersebut di bagi-bagi lagi lebih mendetail secara teoritis. Hal ini bertujuan untuk membangun kembali kesadaran masyarakat agar dapat bersama-sama mencegah dan memberantas penyebaran narkotika serta membenahi mental para pecandu narkotika agar permanen dapat lepas dari jerat candu narkotika seiring juga dengan langkah kongkrit dari pemerintah yang sudah sejak lama menggiatkan program ini sesuai dengan perintah undang-undang narkotika.
Di Bangka Belitung, sebelum adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, apabila terjadi tindak pidana narkotika yang notabene pelakunya adalah pecandu narkotika, maka dengan sigap pihak kepolisian segera menangkap, menahan, memeriksa dan mengadili terdakwa di meja persidangan, sampai pada akhirnya pengadilan pun memberikan vonis sanksi berupa pidana penjara selama waktu yang ditentukan oleh hakim. Tindakan seperti ini dahulu kerap terjadi dan tidak asing lagi bagi kita semua. Namun setelah diundangkannya undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, perlakuan yang seperti ini bukan lagi merupakan jalur tempuh yang hakiki, sebab Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika BAB IX Bagian Kedua Pasal 54 telah menggariskan bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Inilah yang seharusnya menjadi bahan acuan bagi penegak hukum agar dapat lebih memperhatikan hak pelaku yang dikategorikan sebagai Pecandu Narkotika dan Korban Penyalah Guna Narkotika. Dalam hal pelaku yang termasuk dalam kategori ini, undang-undang pun masih memberikan hak lainnya, seperti yang disebutkan dalam pasal 55 ayat 2 yang berbunyi, “Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
Itulah kiranya pernyataan berupa ketetapan yang tersirat didalam peraturan perundang-undangan Narkotika tentang hak pelaku yang dikategorikan sebagai Pecandu Narkotika dan Korban Penyalah Guna Narkotika. Sudah seharusnya pengetahuan tentang narkotika ini diketahui oleh masyarakat agar mereka dapat ikut serta mencegah dan memberantas kelangsungan dari tindak pidana narkotika ini.
Inilah persoalan-persoalan yang sedang kita hadapi, dimana persoalan tersebut berkaitan erat dengan efektifitas dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana ini.
Keseluruhan bahasan diatas akhirnya akan bermuara pada efektifitas dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Apakah pernyataan yang bersifat imperatif disetiap butir pasalnya telah dijalankan dengan benar dan menghasilkan apa yang dicita-citakan oleh pemerintah melalui undang-undang ini?
Inilah yang melandasi penulis untuk melakukan rangkaian penelitian secara metode, sistematis dan konsisten dengan mengangkat permasalahan melalui judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EFEKTIFITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG” pada Skripsi ini agar kelak dapat berguna sebagai materi yang bersifat referensi bagi pihak-pihak yang membacanya.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Sejauh manakah implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah di implementasikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?
2. Bagaimanakah sikap aparat penegak hukum tingkat pertama terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang dikategorikan sebagai pengguna narkotika berdasar kepada prosedur yang telah ditetapkan (berdasar kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)?
3. Dimanakah para pecandu narkotika Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akan ditempatkan guna proses perehabilitasian, dan bagaimanakah syarat serta prosesnya?
C. Hipotesa
Sebelum penulis mengadakan pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu penulis mengambil kesimpulan sementara mengenai “Tinjauan Yuridis Terhadap Efektifitas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”.
Pengertian efektifitas secara umum menunjukkan seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektifitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas da waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase yang dicapai, maka makin tinggi pula efektifitasnya. Sedangkan pengertian efektifitas menurut Prasetyo Budi Saksono adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input. Dari dua pengertian efektifitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut telah ditentukan terlebih dahulu3.
Dalam kaitannya dengan efektifitas dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah seiring mulai diberlakukannya hingga masih berlakunya undang-undang tersebut, maka seluruh tindakan yang di atur oleh undang-undang itu sangatlah dibutuhkan wujud prakteknya. Karena dari praktek yang selaras dengan substansi undang-undang tersebut secara langsung akan mewujudkan cita-cita serta harapan dari pihak pembuat undang-undang melalui kesadaran para penegak hukum dan seluruh masyarakat yang telah mengindahkannya sehingga terciptalah sebuah kepastian hukum.
Di dalam lapangan hukum pidana Indonesia, Tindak Pidana Narkotika merupakan salah satu perbuatan melawan hukum yang bersifat khusus. Karena itu pengaturan tertulisnya pun (Undang-Undang) memisahkan diri dari pengaturan yang bersifat umum seperti yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Maka dari itu, pengaturan terhadap tindak pidana narkotika ini dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan karenanya ditetapkan sebagai sebuah tindak pidana yang bercorak khusus.
Di wajibkan kepada para penegak hukum di Indonesia, termasuk Bangka Belitung dalam menindak tindak pidana narkotika haruslah senantiasa berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, sebab kehadiran undang-undang ini berkedudukan sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Dengan pergantian undang-undang, maka berubah juga pola penerapan hukum para penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika dilapangan hukum Indonesia.
D. Ruang Lingkup
Untuk lebih mempermudah penulis dalam membahas ragam permasalahan didalam skripsi ini, dan agar dapat lebih memfokuskan diri terhadap permasalahan yang akan dibahas, maka penulis membatasi ruang lingkup hanya mengenai hal-hal yang berkaitan secara langsung dengan ketentuan pasal didalamnya yang memiliki daya fungsionalisasi dari lembaga-lembaga yang berwenang dalam menangani persoalan narkotika yang kesemua darinya dapat menaungi atau melingkupi pasal-pasal yang lainnya, yang berkaitan dengan skripsi ini.
E. Metode Penelitian
Sesuai dengan judul dan permasalahan yang diangkat, maka untuk mempermudah penulis dalam membahas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menggunakan :
1. Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu mendapatkan data-data dari bahan pustaka atau data sekunder dari literatur-literatur, buku-buku dan peraturan perundang-undangan antara lain KUHP, KUHAP, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan narkotika.
2. Metode Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu dengan mengadakan penelitian langsung ke lapangan. Dalam hal ini penulis langsung mengadakan penelitian pada berbagai lembaga penegakan hukum yang secara langsung berkaitan dengan tema dari skripsi yang disusun. Langkah dari metode yang ditempuh adalah dengan cara mengadakan wawancara secara langsung terhadap narasumber yang berkompeten dalam bidang hukum masing-masing dan melalui data-data yang ada pada lembaga-lembaga tersebut.
Selanjutnya, data yang didapat di analisa secara deduktif kualitatif, dengan menggunakan metode yuridis empiris.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab. Pada masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermudah pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang dikemukakan dalam tiap bab.
BAB I | : | PENDAHULUAN |
| | Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. |
BAB II | : | TINJAUAN UMUM |
| | Dalam bab ini berisikan tentang pengertian tindak pidana, pengertian tindak pidana khusus, pengertian narkotika, pengertian tindak pidana narkotika, jenis-jenis tindak pidana narkotika, pelaku tindak pidana narkotika, penyelidik dan penyidik tindak pidana narkotika dan sanksi tindak pidana narkotika. |
BAB III | : | PEMBAHASAN |
| | Bab ini berisi tentang pengulasan permasalahan dalam skripsi ini, yaitu berbagai tinjauan nyata yang berkenaan dengan implementasi penerapan hukum dan sistemasi dalam penerapan hukum dalam tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. |
BAB IV | : | PENUTUP |
| | Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini yang berisikan kesimpulan yang diambil dari penyusunan dari pokok bahasan yang diangkat untuk dapat menjawab identifikasi masalah, dan membuat saran-saran terhadap masalah yang berkenaan dengan tindak pidana narkotika. |
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Stratbaar Feit dan dalam kepustakaan, hukum pidana sering dipergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskannya didalam suatu undang-undang dengan mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat4.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah : ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut5.”
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak selaras atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini, maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang tersebut adalah pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi harus selalu diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.
Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini, Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut6.”
Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana7.
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing Stafbaar Feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah Stratfbaar Feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana8.
Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana kepada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu9:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan, hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan, sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut dia harus mempertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan pasal yang mengaturnya10.
B. Pengertian Tindak Pidana Khusus
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya biasa disingkat dengan KUHP, dahulu bernama Wetboek van Strafrecht (WvS). Kitab tersebut merupakan sebuah kitab hukum yang dibuat pada zaman Hindia Belanda yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Sesuai dengan perkembangan zaman dengan cepat, maka seiring itu juga telah terjadi perubahan sosial didalam masyarakat. Dari perubahan-perubahan dalam masyarakat tersebut diikuti pula oleh lahirnya peraturan perundang-undangan baru di bidang hukum pidana. Karena pada kenyataannya hukum itu sendiri memang berfungsi sebagai sosial kontrol terhadap masyarakat. Maka terhadap perubahan itu dibuatlah peraturan-peraturan khusus diluar KUHP untuk menanggulangi perubahan sosial tersebut.
Di samping KUHP ada pula peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, dan salah satu nya adalah hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Narkotika.
Menurut pandangan Scholten seperti yang dikutip dalam buku yang ditulis oleh DR. MOH. HATTA SH11, ia membagi hukum pidana itu atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Dikatakan semua hukum pidana yang berlaku umum disebut dengan hukum pidana umum. Sedangkan hukum pidana khusus adalah perundang-undangan bukan pidana yang bersanksi pidana yang juga disebut dengan hukum pidana pemerintah.
Untuk lebih memperjelas tentang pengertiannya, Penulis sendiri memberikan sebuah pendapat singkat sebagai definisi dari tindak pidana khusus ini. Menurut penulis, tindak pidana khusus adalah suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum yang dilarang, dan bagi yang melakukannya akan dikenakan sanksi pidana yang di atur oleh peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP. Dimaksud dengan bersifat khusus, karena memang merupakan suatu tindak pidana yang pengaturannya tidak diatur didalam KUHP. Itu karena Negara Indonesia mengadopsi hukum warisan dari Belanda, sementara, seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan zamanpun ikut serta memajukan diri, dan disela prosesnya, kehidupan sosial masyarakat juga turut berubah. Dalam hal perubahan sosial masyarakat ini, termasuk juga kedalam perubahan yang bersifat timbulnya pola-pola baru didalam masyarakat itu sendiri, termasuk dalam hal modus dari tindak pidana yang dilakukan. Demi untuk menanggulangi kejahatan atau tindak pidana yang di akibatkan oleh perkembangan zaman ini, maka pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana yang tidak di atur oleh KUHP, di aturlah pada peraturan lain di luar KUHP yang dikenal dengan peraturan perundang-undangan bagi tindak pidana khusus. Hal ini pun sesuai dengan pernyataan yang tersirat dalam KUHP yang berbunyi, ”Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain di ancam dengan pidana, kecuali bila oleh undang-undang ditentukan lain12.”
C. Tindak Pidana Narkotika
1. Pengertian Narkotika
Sesuai dengan pengertian menurut undang-undang yang berlaku, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan13.
Yang harus di pahami adalah bahwa narkotika tidak sama dengan psikotropika. Banyak masyarakat yang keliru dengan menganggap bahwa narkotika sama halnya dengan psikotropika. Pada pengertian narkotika, jelas tersirat tentang bahaya yang ditimbulkan olehnya adalah dapat menurunkan hingga merubah kesadaran, menghilangkan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedangkan pengertian psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku14. Di dalam pengertian psikotropika jelas terkandung kalimat yang menyatakan bahwa psikotropika bukan narkotika. Jadi, mutlaklah bahwa psikotropika memang bukan merupakan narkotika.
Meninjau efek yang ditimbulkan oleh narkotika, maka terhadap kalimat ”dapat menimbulkan penurunan hingga sampai kepada perubahan kesadaran, hilangnya rasa dan mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri”, dapat disimpulkan bahwa zat yang terkandung didalam narkotika dapat menghilangkan kesadaran seorang manusia normal kearah yang abnormal atau dengan kata lain membuat manusia menjadi mabuk. Disamping itu juga dapat berakibat membuat kebal seseorang terhadap rasa sakit atau nyeri pada saat efek pemakaian sedang berlangsung. Namun apabila efek dari zat narkotika itu telah habis masanya, maka kesadaran pun segera kembali normal dan tiada lagi kebal bagi tubuh si pengguna terhadap rasa sakit ataupun nyeri.
Hal-hal inilah yang menyebabkan mengapa narkotika sangat dilarang penggunaannya oleh Pemerintah Indonesia. Karena akibat yang ditimbulkan oleh narkotika diatas dapat membuat manusia menjadi rentan dan tanpa sadar melakukan tindak pidana seperti penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan lain sebagainya yang dapat membahayakan ketertiban umum, apalagi, efek yang didapatkan dari penggunaannya berupa kebal dari rasa nyeri ataupun sakit, maka terasa semakin menunjang seseorang untuk melakukan aksi tindak pidana.
2. Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika merupakan salah satu golongan tindakan pidana yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai tindak pidana khusus karena pengaturannya yang bersifat khusus dan tidak di atur di dalam KUHP.
Hukum positif Indonesia melalui undang-undangnya tidak menyebutkan secara tegas tentang pengertian tindak pidana narkotika. Akan tetapi, dengan berpedoman kepada peraturan perundangan serta teori hukum yang berlaku, maka penulis mencoba memberikan sebuah pendapat mengenai pengertian tindak pidana narkotika ini. Menurut hemat penulis, tindak pidana narkotika adalah suatu perbuatan melawan hukum bersifat khusus yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam hal yang berkaitan dengan narkotika yang disalahgunakan diluar kepentingan yang telah ditentukan dan bagi yang melanggarnya akan diancam sanksi pidana.
Pada kalimat ”disalahgunakan diluar kepentingan” dapat disamakan dengan suatu pengertian yang oleh undang-undang memang telah ditentukan eksplisit bahwa narkotika hanya boleh digunakan dalam hal pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan saja. Apabila ada perbuatan yang dilakukan di luar kepentingan tersebut, dapat dianggap sudah merupakan kejahatan, mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.
Di luar uraian singkat di atas, banyak lagi hal-hal yang sekiranya dapat di tarik kesimpulannya untuk mendefinisikan tindak pidana narkotika ini. Kesemua hal-hal tersebut dirangkum dalam suatu pernyataan yang bersifat teoritis, yaitu melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan tidak selaras dengan perundang-undangan narkotika merupakan suatu esensi dari pengertian implisit tentang tindak pidana narkotika.
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Narkotika
Sama halnya dengan tindak pidana umum, maka tindak pidana narkotika pun memiliki jenis-jenisnya tersendiri yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan Indonesia. Jenis-jenis tersebut dikelompokkan dari segi bentuk dan perbuatannya, yaitu menjadi sebagai berikut16:
1. kejahatan yang menyangkut produksi narkotika
2. kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika
3. kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika
4. kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika
5. kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika
6. kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika
7. kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika
8. kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika
9. kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika
10. kejahatan yang menyangkut keterangan palsu
11. kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga
12. kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur
Untuk selanjutnya guna memperjelas sedikit mengenai bentuk masing-masing kejahatan tersebut, maka dapat diuraikan secara singkat dan sistematis, yaitu sebagai berikut :
1. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika
Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika diatur dalam peraturan perundang-undangan. Disini, yang diatur tentang kejahatan dalam jenis ini bukan hanya sebatas perbuatan produksinya saja melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu, berupa mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan menyediakan narkotika untuk semua golongan.
2. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika
Kejahatan jenis ini bukan hanya berbatas kepada jual beli dalam arti sempit melainkan termasuk pula perbuatan seperti ekspor, impor dan tukar menukar narkotika. Kejahatan jenis ini juga diatur oleh hukum positif Indonesia.
3. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan narkotika
Dalam arti luas kejahatan dalam hal ini termasuk juga perbuatan membawa, mengirim dan mentransito narkotika.
4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika
Dalam hal kejahatan ini undang-undang membedakan antara tindak pidana menguasai narkotika golongan I dengan tindak pidana penguasaan narkotika golongan II dan III.
Untuk tindak pidana penguasaan narkotika golongan I diatur dalam pasal 111 dan 112 Undang-Undang Narkotika. Sedangkan untuk tindak pidana penguasaan terhadap narkotika golongan II diatur dalam pasal 117, dan sedangkan untuk penguasaan terhadap narkotika golongan III diatur dalam pasal 122 Undang-Undang Narkotika.
Untuk mengetahui ciri-ciri dari kejahatan jenis ini, maka didalam undang-undang dapat dilihat dari penggunaan kata-kata seperti menanam, memelihara, mempunyai, memiliki dan menyimpan untuk dimiliki. Maka dalam hal ini dapat dianggap telah melakukan kejahatan terhadap penguasaan narkotika.
5. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi dua macam, yaitu perbuatan yang ditujukan untuk orang lain dan perbuatan yang ditujukan untuk diri sendiri.
Untuk tindak pidana yang ditujukan terhadap orang lain diatur dalam pasal 116, 121 dan 126.
6. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika
Dalam hal kejahatan jenis ini, maka harus berpedoman kepada Undang-Undang Narkotika yang menyatakan bahwa pecandu narkotika wajib melaporkan dirinya sendiri atau keluarganya yang melaporkan dirinya kepada pihak yang berwenang.
Pasal dalam undang-undang narkotika yang mengatur tentang kejahatan jenis ini adalah pasal 55.
Apabila kewajiban yang terdapat pada pasal 55 undang-undang narkotika tidak dipenuhi ataupun tidak dijalankan, maka dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua, wali dan pecandu yang bersangkutan. Untuk sanksi dari tindak pidana yang disebabkan orang tua, wali dan pecandu itu sendiri tidak melaporkan pecandu narkotika karena kewajiban, maka undang-undang menggariskannya pada pasal 128.
Kejahatan dalam pasal 128 diatas seluruhnya adalah delik dolus, yaitu perbuatan harus dilakukan dengan unsur kesengajaan. Sebagai gambaran singkatnya adalah orang tua atau wali dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika. Oleh karena itu orang tua atau wali dan keluarga pecandu narkotika yang lalai tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang untuk mendapatkan pengobatan/perawatan, maka untuk hal itu tidak dipidana. Lain halnya dengan pecandu narkotika yang sudah cukup umur, kemungkinan besar sangatlah sulit untuk melakukan kelalaian untuk melaporkan dirinya sendiri, karena yang bersangkutan mengetahui dan menyadari bahwa dirinya adalah pecandu narkotika. Apabila ia tidak melaporkan diri sedangkan ia tahu betul keadaan dirinya sendiri, maka merupakan perbuatan yang disengaja.
Terhadap orang tua atau wali pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah melaporkan tidak dapat dituntut pidana karena didasarkan pada pertimbangan bahwa tindakan tersebut mencerminkan itikad baik sebagai wujud peran serta masyarakat.
7. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi
Seperti diketahui bahwa menurut ketentuan undang-undang narkotika pasal 45, pabrik obat diwajibkan mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat maupun bahan baku narkotika. Kemudian menurut pasal 46, untuk dapat dipublikasikan harus dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
Bila tidak dilaksanakan demikian, maka akan dikenakan ketentuan pidana oleh undang-undang narkotika pasal 135.
8. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan
Yang dimaksud dengan proses peradilan meliputi pemeriksaan perkara ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Didalam undang-undang narkotika perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit jalannya proses peradilan merupakan suatu tindak pidana yang sebagaimana diatur oleh pasal 138.
9. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika
Sudah diketahui bahwa barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana akan dilakukan penyitaan terhadapnya untuk dijadikan barang bukti perkara yang bersangkutan dan barang bukti kelak harus diajukan dalam persidangan pengadilan. Apabila barang bukti tersebut terbukti dipergunakan dalam tindak pidana, maka akan ditetapkan dan dirampas oleh negara untuk dimusnahkan.
Dalam perkara narkotika, barang bukti dapat berupa tanaman yang jumlahnya sangat banyak, hingga barang bukti tersebut tidak mungkin diajukan ke persidangan seluruhnya. Maka berdasarkan ketentuan pasal 90 barang bukti yang demikian dilakukan penyisihan yang wajar dan selebihnya barang bukti itu dimusnahkan. Semua tindakan penyidik tersebut yang berupa penyitaan, penyisihan dan pemusnahan wajib membuat berita acara dan dimasukkan kedalam berkas perkara.
Sehubungan dengan tidak dilaksanakannya tindakan diatas oleh penyidik dalam perkara narkotika, maka menurut ketentuan pasal 140 dianggap telah melakukan tindak pidana.
10. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu
Sebelum seorang saksi memberikan keterangannya dimuka sidang persidangan, maka saksi tersebut wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agama dan keyakinannya, yaitu bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya16.
Sejalan dengan hal diatas, apabila dalam perkara narkotika seorang saksi tidak memberikan keterangan dengan benar dan jujur, maka berdasarkan pasal 143 undang-undang narkotika dianggap telah melakukan tindak pidana.
11. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga
Lembaga-lembaga yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang Narkotika untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan narkotika yang ternyata melakukan suatu tindakan diluar ketentuan perundang-undangan atau tidak sesuai tujuaan penggunaannya, maka pimpinan lembaga yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang diatur oleh pasal 147.
12. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur
Kejahatan di bidang narkotika tidak selalu dilakukan oleh orang dewasa, akan tetapi adakalanya kejahatan ini dilakukan oleh anak dibawah umur (belum genap 18 tahun usianya).
Anak-anak yang belum dewasa sangat rentan dan mudah untuk dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang berkaitan dengan narkotika. Hal itu dikarenakan jiwa anak dibawah umur belum stabil akibat perkembangan fisik dan psikis. Oleh karena itu, perbuatan memanfaatkan anak di bawah umur guna melakukan kegiatan narkotika adalah suatu tindak pidana yang diatur dalam pasal 133 Undang-Undang Narkotika.
4. Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Seperti ulasan sebelum-sebelumnya, maka secara harfiah dengan tetap berpegang teguh kepada jenis dan bentuk tindakan penyimpangan yang dilakukan dapat diketahui bahwa pelaku-pelaku dalam hal tindak pidana narkotika dilakukan oleh orang perorangan (individu) sebagai pengedar dan pengkonsumsi narkotika, dan yang satunya lagi adalah yang dilakukan oleh kelompok atau secara yuridis disebut dengan korporasi yang dapat berupa lembaga pemerintahan dan badan hukum atau tidak berbadan hukum.
Secara eksplisit dengan berdasar kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka pelaku dalam hal tindak pidana narkotika dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Pecandu Narkotika, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
2. Penyalah Guna Narkotika, yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Meskipun telah ditentukan sedemikian seperti yang tersebut diatas, akan tetapi seperti ulasan sebelumnya, telah kita ketahui bahwa jenis-jenis dari tindak pidana narkotika ini beragam adanya.
Secara hakekat dengan berpedoman kepada undang-undang narkotika, yang dikatakan pelaku tindak pidana narkotika adalah pecandu dan penyalah guna narkotika. Akan tetapi apabila kita menelaah tiap butir pasal yang tercantum pada ketentuan pidananya, maka akan didapati banyak sekali jenis pelaku-pelakunya. Seperti yang kita tahu melalui ketentuan pengertian tentang penyalah guna narkotika, sebenarnya penyalah guna narkotika adalah pelaku dari tindak pidana narkotika dan padanya dibagi-bagi lagi menjadi tiga jenis pelaku, yaitu seperti di bawah ini :
1. Penyalah Guna Narkotika Murni
Penyalah Guna Narkotika Murni adalah seseorang atau suatu badan hukum atau tidak berbadan hukum yang melakukan tindak pidana narkotika dengan cara mengedarkannya secara ilegal kepada orang lain.
2. Penyalah Guna Narkotika Tidak Murni
Penyalah Guna Narkotika Tidak Murni adalah seseorang yang melakukan tindak pidana narkotika dengan cara mengkonsumsi narkotika karena kecanduan dirinya terhadap narkotika.
3. Penyalah Guna Narkotika Gabungan
Penyalah guna narkotika gabungan adalah seseorang yang melakukan tindak pidana narkotika dengan cara mengedarkannya kepada orang lain dan juga mengkonsumsi narkotika karena kecanduannya terhadap narkotika.
Bila kita memetik apa yang telah disebutkan oleh poin-poin di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pelaku dari tindak pidana narkotika tidak lain adalah penyalah guna narkotika. Sedangkan pecandu narkotika lebih dianggap sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika, karena memang merupakan akibat yang ditimbulkan oleh salah satu jenis penyalahguna narkotika. Lebih lengkapnya, secara umum, pecandu narkotika adalah orang yang mengkonsumsi narkotika karena kecanduan atau ketagihannya terhadap narkotika itu dan oleh undang-undang ia diberikan alasan pemaaf.
5. Penyelidik Dan Penyidik Tindak Pidana Narkotika
Salah satu rangkaian dari proses penyelesaian tindak pidana adalah dengan melakukan suatu penyelidikan, yaitu suatu proses pencarian bukti permulaan guna menemukan dugaan tindak pidana. Setelah diadakan penyelidikan dan hasilnya menyatakan bahwa dengan bukti permulaan yang cukup seseorang diduga telah melakukan tindak pidana narkotika, maka diadakanlah proses rangkaian kedua untuk membuat terang hasil penyelidikan yang telah didapatkan tersebut.
Berangkat dari kenyataan di atas, dalam hal tindak pidana narkotika juga dilakukan hal yang sama agar dapat segera menyelesaikan suatu tindak pidana narkotika. Jika pada tindak pidana umum penyelidik dan penyidik yang diberikan wewenang untuk melakukan rangkaian mencari dan menemukan bukti tersebut adalah pihak kepolisian, namun lain halnya dalam bidang tindak pidana narkotika. Dalam hal tindak pidana narkotika yang oleh undang-undang diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan serta penyidikan adalah Badan Narkotika Nasional.
Badan Narkotika Nasional untuk selanjutnya disingkat BNN adalah suatu badan yang secara khusus dibentuk dalam rangka pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Seperti yang tersirat didalam undang-undang narkotika, BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk mempermudah pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, BNN memiliki perwakilan di setiap daerah provinsi dan kota. Untuk BNN tingkat provinsi berkedudukan di ibukota provinsi, sedangkan BNN tingkat kota berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota.
BNN tingkat provinsi biasa disebut dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP), sedangkan BNN tingkat kota biasa disebut dengan Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK).
Tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada BNN adalah sebagai berikut :
1. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
2. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan prekursor (bahan pemula) narkotika
3. Berkoordinasi dengan kepala kepolisian negara republik indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursoor narkotika
4. Meningkatkan kemampuan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat
5. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
6. Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
7. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
8. Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika
9. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
10. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Sekalipun pihak BNN diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan seperti yang terdapat dalam tugas dan wewenang di atas, akan tetapi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, BNN juga harus selalu berkoordinasi dengan pihak kepolisian demi kelancaran dari proses penyelidikan dan penyidikan.
6. Sanksi Tindak Pidana Narkotika
Secara garis besar sanksi bagi tindak pidana narkotika diatur melalui rumusan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Oleh karena tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang bersifat khusus, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengatur sanksi dari perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam hal narkotika ini.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana narkotika di atur didalam undang-undang narkotika pada Bab XV tentang Ketentuan pidana. Namun pengaturan pada ketentuan pidana tersebut masih berkewajiban melakukan korelasi dengan Bab-bab lainnya agar dapat mengaitkan antara hal-hal yang dimaksudkan oleh sebagian pasal yang ada didalam ketentuan pidana tersebut.
Berdasarkan undang-undang narkotika, sanksi bagi pelaku tindak pidana narkotika meliputi pidana penjara, rehabilitasi, pidana denda dan pidana tambahan. Untuk mendapatkan penjelasan ruang lingkup dari beberapa sanksi pidana yang diterapkan pada undang-undang tersebut, maka di adakan penguraian sebagai berikut :
1. Pidana Penjara
Ruang lingkup dari terapan pidana penjara ini adalah jika suatu tindak pidana narkotika dilakukan oleh individu atau korporasi. Namun bagi tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh korporasi, yang dikenakan pidana penjaranya adalah pimpinan dan atau pengurus dari korporasi tersebut. Terapan pidana penjara ini diberlakukan untuk seluruh tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh orang perseorangan atau pengurus dari suatu korporasi. Pidana penjara dikecualikan bagi perseorangan yang hanya berstatus sebagai pecandu narkotika.
2. Rehabilitasi
Ruang lingkup dari terapan rehabilitasi ini adalah apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh Individu dalam hal si individu merupakan Penyalah Guna Narkotika yang hanya merupakan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Pecandu Narkotika.
Dalam hal telah dilaksanakannya rehabilitasi, maka secara otomatis pecandu narkotika maupun korban penyalahgunaan narkotika telah menjalani hukuman sebagai ganti daripada pidana penjara, karena selama masa rehabilitasi berlangsung, maka dianggap sebagai penjelmaan dari pidana penjara. Berdasarkan alasan tadi, seorang pecandu yang telah selesai menjalani masa rehabilitasi tidak lagi dapat di pidanakan dengan pidana penjara.
3. Pidana Denda
Didalam undang-undang narkotika, penjatuhan pidana denda dilaksanakan juga bersamaan dengan penjatuhan pidana penjara. Secara psikologis diterapkannya pidana denda ini adalah untuk memberikan rasa takut yang luar biasa bagi masyarakat terhadap tindak pidana narkotika, baik bagi yang belum, sedang atau telah selesai melakukan tindak pidana narkotika ini. Kesemuanya itu juga dilakukan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana narkotika agar tidak lagi berani untuk mengulangi perbuatannya. Pidana Denda terhadap tindak pidana narkotika ini diterapkan bagi orang ataupun korporasi yang melakukan tindak pidana narkotika, sesuai dengan ketentuan pidana yang terdapat didalam undang-undang narkotika. Menurut KUHP, apabila pidana denda tidak di bayar, maka akan digantikan dengan pidana kurungan.
4. Pidana Tambahan
Pidana tambahan merupakan suatu sanksi yang diberikan bagi pelaku tindak pidana narkotika dalam hal dilakukan oleh korporasi. Bentuk dari pidana tambahan ini seperti pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum. Seperti halnya pidana denda, penerapan dari pidana tambahan ini biasanya juga dilaksanakan bersamaan dengan pidana penjara dan pidana denda.
BAB III
EFEKTIFITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
A. Implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Berbicara tentang implementasi atau pelaksanaan dari suatu undang-undang pada sekrup suatu wilayah, maka hendaklah berkaca kepada keadaan nyata yang terjadi pada suatu wilayah yang bersangkutan. Seperti yang diketahui bersama bahwa kehadiran suatu undang-undang bertujuan untuk mengatur hal-hal mana yang dilarang untuk dilakukan oleh orang atau sekumpulan orang, baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Pelarangan terhadap sesuatu yang tidak boleh dilakukan tersebut merupakan sebuah wujud dari suatu tindakan yang dianggap bertentangan dengan norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum. Disamping itu, kehadiran undang-undang juga berperan serta dalam bidang pengaturan yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenang dari suatu lembaga penegakan hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Implementasi suatu undang-undang di setiap wilayah Negara Indonesia dapat dikatakan merupakan sebuah langkah awal yang esensinya dapat menentukan berjalan atau tidaknya suatu peraturan. Apabila setelah suatu peraturan perundang-undangan diberlakukan tetapi ternyata tidak di ikuti dengan penerapan praktek di lapangan kongkritnya, maka tidak efektiflah pengundangan peraturan tersebut. Bagitu pula kaitannya dengan undang-undang narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Guna berfungsinya produk hukum tersebut haruslah di ikut sertakan penerapan prakteknya oleh pihak penegak hukum didalam sebuah perkara tindak pidana narkotika maupun masyarakat yang dibebankan kepadanya kewajiban untuk melaporkan apabila akan, sedang ataupun telah terjadinya suatu tindak pidana ini. memang setelah di undangkannya suatu produk hukum oleh pemerintah, maka memiliki sifat wajib untuk dijalankan sebagaimana apa yang ada didalam undang-undang tersebut. Akan tetapi apa yang akan terjadi bila seandainya terjadi tindakan penyimpangan pada saat penerapannya? Tentunya hal ini akan mengakibatkan persoalan hukum lainnya bila memang ternyata di ketahui terdapat penyimpangan tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat dari apa yang telah digariskan oleh suatu undang-undang itu. Namun, apakah yang akan terjadi apabila sekiranya perbuatan penyimpangan tersebut tidak di ketahui oleh pihak penegak hukum bila yang melakukan tindakan penyimpangan tersebut adalah masyarakat? Tentu ini juga bukan merupakan suatu hal yang di inginkan oleh undang-undang tersebut.
Tak dapat terelakkan lagi bahwa antara teori dan praktek sangat jauh perbedaannya. Isi dari undang-undang narkotika misalnya, boleh saja teori pada pernyataan suatu pasalnya mengatakan bahwa orang tua yang anaknya adalah seorang pecandu wajib melaporkan anaknya tersebut kepada pihak yang berwenang guna dilakukan proses hukum akan tetapi apabila praktek sudah bicara, maka tindakan imperatif yang di suruh lakukan oleh undang-undang baginya itu terasa sangatlah sulit untuk dilakukan oleh para orang tua yang anaknya merupakan pecandu narkotika. Namun pada hakekatnya didalam hukum tidaklah ada tawar menawar. Peraturan yang tertulis di dalam undang-undang adalah sebuah harga mati yang tidak dapat lagi diganggu gugat oleh siapapun. Hanya keyakinan dan kebijaksanaan hakimlah yang dapat memperlunak suatu aturan undang-undang, karena dewasa ini peranan hakim bukan hanya sebatas mulut atau corong dari suatu undang-undang saja.
Kepulauan Bangka Belitung yang merupakan salah satu provinsi dari sekian banyak provinsi yang ada di Negara Indonesia juga merupakan sasaran dari keharusan implementasi suatu peraturan perundang-undangan yang telah di keluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, apabila membahas mengenai beberapa isi dari pasalnya yang berkenaan dengan penyelenggaraan badan narkotika pada setiap provinsi yang ada di Indonesia, maka hendaklah membentuk Badan Narkotika Nasional tingkat provinsi dalam rangka menjalankan perintah dari undang-undang tersebut. Setelah Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) terselenggara, maka tugas beserta dengan fungsinya pun harus dijalankan sesuai dengan peraturan-peraturan perundang-undangan.
Di selenggarakannya Badan Narkotika tingkat provinsi merupakan sebuah upaya dalam mencegah serta memberantas peredaran narkotika ilegal. Selain Badan Narkotika Provinsi, pemerintah juga mengembangkan sayap dari badan narkotika tersebut pada sekrup wilayah kota dan kabupaten. Namun hingga kini hanya BNNP dan BNNK yang telah terselenggarakan, sedangkan untuk BNN tingkat kabupaten belum terselenggarakan. Untuk sekedar mengingat kembali bahwa Badan Narkotika Nasional pada tingkat kota di namakan dengan Badan Narkotika Nasional Kota, sedangkan Badan Narkotika Nasional untuk tingkat kabupaten di namakan sesuai dengan sekrupnya yaitu Badan Narkotika Nasional Kabupaten.
Di kembangkannya sayap dari BNN ke tingkat Kota dan Kabupaten bertujuan untuk lebih mempermudah jangkauan masyarakat pada daerah masing-masing berkaitan dengan tugas dari individu-individu yang ada di dalam badan tersebut, dan begitu pula dengan masyarakat, mereka akan lebih mudah untuk melaksanakan kewajiban yang di bebankan oleh undang-undang kepadanya.
BNNP, dalam rangka menjalankan salah satu tugasnya, apabila sedang menyelidiki dan menyidiki suatu perkara narkotika, maka wajib baginya untuk selalu berkoordinasi dengan pihak Kepolisian Daerah, dan begitu juga sebaliknya bagi pihak Kepolisian Daerah harus selalu berkoordinasi dengan pihak BNNP18. jadi, intinya, kedua pihak tersebut senantiasa harus saling berkoordinasi dalam bidang tindak pidana narkotika.
Di Bangka Belitung, penerapan serupa seperti yang telah di bicarakan di atas telah dilaksanakan antara BNNP dengan pihak Kepolisian Daerah. Akan tetapi koordinasi tersebut dari semenjak telah dibentuknya BNNP hingga sekarang ini, korelasi antar mereka hanyalah berbatas kepada memberikan laporan tahunan tentang kinerja yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika.
Dalam perkara tindak pidana narkotika, tidak hanya BNN saja yang menjadi unsur tunggal sebagai penyelidik dan penyidik. Di Bangka Belitung, peran pihak Kepolisian Daerah terhadap perkara tindak pidana narkotika juga tidak kalah pentingnya dengan BNNP. Meskipun di dalam undang-undang menggariskan bahwa pihak Kepolisian merupakan pihak pembantu dari Badan Narkotika dalam rangka menjalankan tugasnya, akan tetapi mereka juga dapat bertindak sebagai tim penyelidik dan penyidik dari suatu tindak pidana narkotika.
Hingga tahun 2011, di Bangka Belitung yang mengemban tugas sebagai penyelidik dan penyidik terhadap perkara tindak pidana narkotika yang terjadi di Bangka Belitung adalah pihak Kepolisian. Apabila terjadi suatu tindak pidana narkotika yang pelakunya tertangkap tangan oleh pihak Kepolisian, maka pihak yang berwewenang untuk menyelidik dan menyidik perkara tersebut hingga tuntas adalah Kepolisian. Selain dari pada itu, meskipun yang menemukan pelaku dari suatu tindak pidana narkotika adalah pihak dari BNNP, maka pihak tersebut akan melimpahkan tersangka kepada pihak Kepolisian Daerah terlebih dahulu untuk selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut tentang apakah statusnya. Apabila pemeriksaan menyatakan bahwa pelaku hanya pecandu narkotika, maka untuk selanjutnya pihak Kepolisian akan tetap meneruskan proses selanjutnya kepada kejaksaan berdasarkan bukti temuan yang sudah jelas untuk dilakukan penuntutan pada persidangan. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa walaupun pecandu narkotika, namun apabila tertangkap tangan sedang menggunakan narkotika, maka proses hukum pidana sesuai dengan KUHAP akan tetap diberlakukan baginya. Begitu juga apabila dinyatakan bahwa pelaku merupakan seorang Penyalah Guna Narkotika yang melakukan kegiatan peredaran narkotika gelap, maka perkara juga akan diteruskan kepada pihak Kejaksaan untuk selanjutnya akan dilakukan penuntutan yang sama hal nya dengan pecandu narkotika yang tertangkap tangan oleh pihak berwenang saat sedang mengkonsumsi narkotika17.
Di sebutkan bahwa Pihak Kepolisian lah yang memiliki wewenang sepenuhnya untuk menyelidik dan menyidik tindak pidana narkotika, itu oleh karena pihak BNNP Kepulauan Bangka Belitung yang seharusnya mengemban tugas dan wewenang tersebut masih dalam tahap pengembangan strukur keorganisasiannya. BNNP untuk kepulauan Bangka Belitung, sebenarnya baru terbentuk kurang lebih 1 bulan yang lalu. Karena minimnya tenaga pegawai, ditambah lagi dengan rata-rata dari pegawai nya yang masih bersifat honorer, maka untuk saat ini belum terbentuk tim penyelidik dan penyidik pada instansinya. Inilah alasan yang menyebabkan untuk sementara waktu pihak Kepolisian lah yang berperan sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh perkara tindak pidana narkotika yang terjadi di Bangka Belitung.
Dari hal di atas, memang terdapat beberapa kesan yang sedikit agak menyimpang dari apa yang telah digariskan oleh undang-undang narkotika. Akan tetapi selama tidak ada penyimpangan yang bersifat negatif yang dilakukan oleh para pihak penegak hukum Bangka Belitung, maka hal tersebut dapat di terima karena di anggap cukup memiliki hakekat tujuan yang sama seperti yang di harapkan oleh undang-undang narkotika, apalagi terjadinya penyimpangan tersebut dikarenakan pihak yang menurut undang-undang seharusnya menjadi penyelidik dan penyidik terhadap tindak pidana narkotika adalah Badan Narkotika Nasional Provinsi masih dalam proses pengembangan menyeluruh terhadap instansinyai.
Berdasarkan kepada sejarah dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di Bangka Belitung, maka sejak tahun 2005 pemerintah daerah Bangka Belitung telah membentuk BNP (Badan Narkotika Provinsi) dan BNP (Badan Narkotika Kota). Di bentuknya Badan Narkotika tersebut berdasarkan kepada Peraturan Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jadi, sekarang dapat disimpulkan bahwa dulu di Bangka Belitung, pihak yang berwenang dalam bidang narkotika ini adalah BNP yang di bentuk berdasarkan Peraturan Gubernur.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa BNNP wilayah Bangka Belitung baru terbentuk sekitar 1 bulan yang lalu. Pembentukan dan pelantikan badan tersebut dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei tahun 2011. Terdapat dualisme tugas dan wewenang antara Badan Narkotika Provinsi dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi. Namun untuk menanggalkan dualisme ini, pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berencana akan membubarkan Badan Narkotika Provinsi, akan tetapi untuk membubarkan badan tersebut pemerintah Bangka Belitung harus mendapatkan keputusan dari presiden, dan hingga saat ini keputusan tersebut belum di dapatkan oleh Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung.
Substansi dari undang-undang narkotika sebenarnya tidak hanya menyentuh para pihak penegak hukum tingkat pertama saja, dalam hal ini yang di sebut dengan penyelidik dan penyidik, akan tetapi juga menyentuh para penegak hukum tingkat selanjutnya yang bertugas sebagai pihak penuntut dan pihak yang berwenang untuk mengadili. Bagi pihak Kejaksaan yang bertugas untuk menuntut pelaku dari tindak pidana narkotika, hendaklah selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh undang-undang narkotika sebagai porsi terhadap requisitornya. Karena apabila terjadi obscure libel terhadap surat dakwaannya, maka walhasil terdakwa akan dinyatakan bebas demi hukum oleh pihak pengadilan. Karenanya, jaksa penuntut umum diwajibkan untuk menelaah secara teliti tentang apa status pelaku dan pasal berapa sajakah yang memenuhi unsur kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Sedangkan bagi Hakim yang berperan sebagai pemimpin dalam persidangan apabila memeriksa perkara tindak pidana narkotika yang terdakwanya adalah pecandu narkotika, maka hendaklah berkaca kepada ketentuan undang-undang narkotika yaitu :
1. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika
2. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Di perintahkan sebagai mana tersebut di atas karena dalam masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika diperhitungkan sebagai masa dari menjalani hukuman pidana. Akan tetapi, untuk dapat memutus atau menetapkan vonis seperti itu, hakim hendaklah memperhatikan fakta dan bukti yang telah di ungkapkan selama masa persidangan agar dapat mengarahkan kebijaksanaannya kepada jalur yang benar. Oleh karena sistem pembuktian yang di pergunakan oleh peradilan Indonesia adalah sistem yang tergaris di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mana mempergunakan prinsip pembuktian undang-undang secara negatif, maka keyakinan hakim pun ikut ambil bagian di dalamnya dan dapat di pergunakan untuk memutus atau menetapkan vonis terhadap terdakwa, termasuk terhadap pecandu narkotika.
Dalam hal undang-undang narkotika, diluar para penegak hukum pemerintah, masih terdapat satu lagi pihak yang di bebankan kewajiban oleh undang-undang narkotika. Mereka adalah masyarakat. Telah disebutkan pada bab-bab sebelumnya bahwa masyarakat juga di ikut sertakan oleh undang-undang dalam rangka pencegahan dan pemberantasan narkotika. Salah satu dari kewajiban tersebut berbunyi, “Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan sosial”. Di dalam pernyataan undang-undang tersebut jelas dikhususkan untuk orang tua yang anaknya adalah pecandu narkotika yang menurut hukum belum cukup usia. Namun bagaimanakah bagi pecandu narkotika yang sudah cukup usia? Untuk menjawab hal ini, kita harus berpedoman kepada pasal 55 ayat 2 undang-undang narkotika yang menyatakan bahwa “Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan sosial18.” Selain itu pengaturan khusus tentang peran serta masyarakat ini juga di atur didalam undang-undang narkotika. Pengaturan tersebut terdapat pada Bab XIII tentang Peran Serta Masyarakat.
Setelah peranan para aparat penegak hukum dan masyarakat telah secara kontinyu diterapkan dengan baik dan sejalan dengan keinginan suatu undang-undang yang bersangkutan, maka pada saat itulah dapat dikatakan bahwa keseluruhan dari suatu undang-undang telah terimplementasikan pada suatu wilayah. Memang bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah untuk mewujudkan itu semua, tetapi undang-undang adalah harga mati yang tiada dapat ditawar lagi.
Secara spesifik akan di tuangkan kedalam beberapa poin hal-hal yang mengenai ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang narkotika ynamun belum dilaksanakan atau belum selaras di provinsi kepulauan bangka belitung yaitu sebagai berikut :
1. sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, hingga tahun 2010 akhir, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum terbentuk badan narkotika nasional tingkat provinsi dan kota. Badan narkotika nasional provinsi kepulauan bangka belitung baru di bentuk pada bulan Mei tahun 2011.
2. sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sampai setelah terbentuknya BNNP Kepulauan Bangka Belitung pada bulan Mei tahun 2011 belum dapat difungsikan sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang narkotika.
3. sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, seluruh hal yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika masih dipegang kendali oleh pihak kepolisian.
4. sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, BNP yang dibentuk pada tahun 2005 dengan berdasarkan kepada peraturan gubernur belum di bubarkan hingga pada tahun 2011 telah terbentuk BNNP dan BNNK.
Seperti yang telah di ulas di atas tentang berbagai hal yang menyangkut beberapa sendi dari implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, ternyata setelah di adakan berbagai riset oleh penulis di berbagai lembaga penegakan hukum pada wilayah Bangka Belitung yang berkaitan erat dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika, maka dapat di simpulkan bahwa secara yuridis belum terpenuhi cita dan harapan dari undang-undang narkotika di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, karena setiap butir pasal melalui didalamnya belum dilaksanakan dan dijalankan oleh para pihak penegak hukum dan masyarakatnya.
B. Sikap Aparat Penegak Hukum Tingkat Pertama Terhadap Pelaku Narkotika Yang Dikategorikan Sebagai Pengguna Berdasarkan Prosedur Yang Telah Ditetapkan
Apabila suatu ketika terjadi sebuah tindak pidana narkotika yang dimana pelakunya adalah orang yang dikualifikasikan sebagai pengguna narkotika, maka yang pertama kali harus diketahui adalah siapakah yang dimaksud dengan pengguna narkotika itu? Jika kita menilik kepada undang-undang narkotika, maka didalamnya tidak akan ditemukan apakah dan siapakah yang dimaksud dengan pengguna narkotika. Benar, undang-undang narkotika, baik Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika ataupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidaklah menyiratkan secara tegas istilah pengguna narkotika didalam ketentuan umumnya. Sedangkan secara umum masyarakat Bangka Belitung sudah sejak lama mengetahui istilah dalam dunia penyalahgunaan narkotika yang disebut dengan pengguna narkotika tersebut. Namun lagi-lagi dikarenakan kurangnya informasi yang didapat masyarakat akan hal itu, maka masyarakat banyak keliru dalam mengartikannya. Pada umumnya masyarakat Bangka Belitung seringkali mengartikan istilah pengguna narkotika sebagai orang yang mengkonsumsi narkotika, padahal pengertian tentang pengguna narkotika itu sangat luas sekali.
Menurut Umar Busri, pada hakekatnya menurut sifat yuridis, meskipun tidak disiratkan oleh undang-undang narkotika, namun arti dari istilah tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu sebagai berikut19 :
1. Pengguna Narkotika Murni yaitu orang yang mengkonsumsi narkotika untuk dirinya sendiri karena kecanduan yang di alaminya tanpa mengedarkan narkotika tersebut kepada orang lain.
2. Pengguna Narkotika Tidak Murni yaitu orang yang mengkonsumsi narkotika karena kecanduannya dan juga mengedarkan/menyebarluaskan narkotika secara ilegal kepada orang lain.
Mengacu kepada penjelasan yang terdapat pada dua poin diatas, maka secara yuridis dengan berpedoman kepada undang-undang narkotika, sebenarnya pengguna narkotika murni sama halnya dengan penyalah guna narkotika tidak murni, sedangkan pengguna narkotika tidak murni dapat disamakan dengan penyalah guna narkotika gabungan.
Apabila seumpama suatu ketika terjadi suatu tindak pidana narkotika yang tertangkap tangan yang pelakunya adalah pengguna narkotika, maka hal pertama yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah menangkap dan menahan orang tersebut untuk kemudian dilakukan penyelidikan dan seluruh rangkaian proses yang berkaitan dengan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tersebut dilakukan oleh pihak kepolisian dengan membawa pelaku ke rumah sakit jiwa untuk selanjutnya dilakukan rangkaian tes secara medis untuk mengetahui apakah pelaku tersebut seorang pengguna murni. Setelah itu, proses selanjutnya akan dilakukan pencarian bukti lain tentang apakah ia hanya merupakan pengguna murni atau tidak.
Karena pengguna narkotika dibagi menjadi 2 kelompok, maka Terapan yuridis yang diberlakukan pun dibagi menjadi 2 kelompok yaitu sebagai berikut :
1. bagi pengguna narkotika murni, dibagi lagi menjadi 2 sub kelompok, yaitu sebagai berikut :
a. Pengguna Murni Yang Melapor Atau Dilaporkan.
Dalam hal ini, pengguna narkotika murni yang melaporkan atau dilaporkan dirinya oleh keluarganya akan langsung diterapkan proses rehabilitasi kepadanya dengan mengirimkannya kepada panti rehabilitasi.
b. Pengguna Narkotika Murni Yang Tertangkap Tangan
Pengertian pengguna murni yang tertangkap tangan adalah orang yang sedang mengkonsumsi narkotika ditangkap secara langsung oleh aparat penegak hukum. Pengguna jenis ini tidaklah melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pihak yang berwenang. Terapan yuridis bagi pengguna jenis ini adalah dengan melalui prosedur hukum sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2. Pengguna Narkotika Tidak Murni
Pengguna Narkotika Tidak Murni adalah orang yang dikualifikasikan sebagai pecandu sekaligus pengedar narkotika. Umumnya pengguna jenis ini biasa disebut dengan pemakai sekaligus bandar narkotika. Pada pengguna jenis ini akan diterapkan proses hukum yang sama dengan pengguna murni yang tertangkap tangan sesuai dengan peraturan KUHAP dari pihak kepolisian ke pihak kejaksaan yang untuk selanjutnya akan disidangkan dipengadilan.
Sebenarnya, jika berpatokan kepada undang-undang narkotika, yang seharusnya menjadi kewenangan daripada penyelesaian tindak pidana narkotika adalah Badan Narkotika, baik provinsi maupun Kota. Namun di Bangka Belitung sendiri, oleh karena Badan Narkotika tersebut masih dalam tahap pengembangan seluruh rangkaian struktur keorganisasian yang meliputi seluruh fungsionalnya, maka didapatilah kinerja yang mereka berikan belumlah maksimal. Akibat yang ditimbulkan oleh hal tersebut adalah untuk sekarang ini efektifitas dari undang-undang narkotika belumlah sepenuhnya dapat dijalani.
Apabila meninjau secara lengkap tentang bagaimanakah sikap aparat kepolisian terhadap pengguna narkotika tidak murni, maka dirasa hendaklah kita berpedoman kepada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika itu sendiri. Hal ini dikarenakan, pengguna narkotika tidak murni, bila dipandang dari sudut perspektif salah satu perbuatan pidananya, yaitu melakukan peredaran narkotika ilegal, maka akan berakibat merugikan orang lain. Maka pihak kepolisian dalam rangka penyelesaian perkara tersebut akan berpedoman kepada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika itu sendiri. Di lakukan demikian, karena KUHAP merupakan landasan formil yang mengatur tentang tatacara beracaranya, sedangkan dipergunakan undang-undang narkotika sebagai landasan materil yang mengatur tentang perbuatan dan sanksinya.
Hukuman bagi selain daripada pelaku yang dikategorikan sebagai korban penyalahgunaan atau penyalah guna narkotika tidak murni atau pengguna murni yang tertangkap tangan adalah hukuman pidana. Dalam hal mengapa pengguna murni yang melaporkan diri atau dilaporkan dirinya oleh keluarganya tidak dikenakan pidana adalah karena mereka diberikan alasan pemaaf oleh undang-undang. Namun alasan pemaaf disini hanyalah alasan yang semata-mata ditinjau dari faktor psikologisnya oleh pihak perumus undang-undang, atau dengan kata lain lebih kepada hukuman rehabilitasilah yang dijalani olehnya sebagai ganti dari hukuman pidana penjara/kurungan. Karena dengan melaporkan dirinya kepada pihak yang berwenang, maka secara tidak langsung yang bersangkutan ingin merubah dirinya dengan menghilangkan ketergantungannya terhadap narkotika. Begitu juga dengan apabila dilaporkan oleh keluarganya. Dalam hal ini, keluarga yang mengetahui bahwa didalam salah satu orang dikeluarganya mencandui narkotika dan melaporkannya kepada pihak yang berwenang karena ingin merubah agar yang bersangkutan lepas dari jeratan candu narkotika. Berbeda dengan bila pelakunya adalah pengguna narkotika tidak murni yang meskipun ia adalah seorang pecandu narkotika, namun yang memberatkan dirinya adalah perbuatan lain yang merugikan orang lain yang oleh undang-undang dianggap sebagai staafbarfeit.
Berangkat dari alasan-alasan di atas, maka dirasa tepat sekali langkah yang telah ditempuh oleh pihak penegak hukum wilayah Bangka Belitung jika menaruh terapan proses hukum yang berbeda terhadap masing-masing kelompok pengguna narkotika.
Lebih lanjut, diharuskan mempergunakan KUHAP sebagai landasan dalam rangka menyelesaikan perkara bagi pengguna narkotika narkotika murni yang tertangkap tangan dan pengguna narkotika tidak murni, itu karena lebih meninjau dari sudut beracara-nya yaitu sebagai dasar dari hukum formil bagi tindak pidana, termasuk juga untuk tindak pidana narkotika. Karena bagi setiap pengguna narkotika tersebut akan dilakukan proses penahanan setelah dilakukan penangkapan, dan selanjutnya akan dilakukan penyidikan terlebih dahulu hingga akhirnya apabila terdapat cukup bukti, maka akan diteruskan kepada pihak Kejaksaan, lalu disidangkan untuk menetapkan bersalah atau tidaknya seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana narkotika tersebut.
Dalam hal hukum materiilnya, tentunya tetap mempergunakan undang-undang narkotika sebagai landasan penghukuman terhadap orang atau badan yang terlibat tindak pidana narkotika. Dengan mengetahui apakah kedudukan seseorang dari tindak pidana narkotika, maka tentunya penerapan hukuman yang berbeda pula yang akan dijatuhkan oleh hakim terhadap masing-masing orang yang dikualifikasikan sebagai pengguna narkotika tersebut.
3. REHABILITASI BAGI PECANDU ATAU KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG.
Secara umum pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika merupakan orang yang sama. Pada bab ini, konteks yang akan dibicarakan adalah tentang seseorang yang dianggap sebagai pengguna narkotika murni atau penyalah guna narkotika tidak murni. Secara umum dengan berpatokan kepada undang-undang narkotika, pecandu narkotika merupakan orang yang ketagihan terhadap narkotika, begitu pula dengan korban penyalahgunaan narkotika yang merupakan seorang korban dari pihak penyalah guna narkotika murni atau penyalah guna narkotika gabungan atau pengguna narkotika tidak murni hingga akhirnya mengkonsumsi narkotika dan menyebabkannya ketagihan terhadap narkotika tersebut.
Para pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika merupakan pengguna yang dikategorikan sebagai pengguna murni, baik pengguna murni yang melaporkan atau dilaporkan atau pengguna murni yang tertangkap tangan yang telah mendapatkan vonis dari hakim yang berupa penjatuhan hukuman rehabilitasi terhadapnya. Oleh karenanya, mereka wajib untuk direhabilitasikan guna pemulihan terhadap ketergantungan yang mereka alami. Di Bangka Belitung sendiri, pihak yang bertanggung jawab untuk memasukkan pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika ke panti rehabilitasi adalah pihak Kepolisian Daerah dengan berkoordinasi kepada pihak Badan Narkotika Provinsi. Setelah dilakukan koordinasi, kemudian pihak kepolisian akan membawa mereka ke panti rehabilitasi.
Sebenarnya, terdapat juga korelasi erat yang tidak dapat dipisahkan antara korban penyalahgunaan dan pengguna narkotika. Letak nya berada pada ketergantungan narkotika itu sendiri. Jadi, baik korban penyalahgunaan dan pengguna narkotika yang di kategorikan sebagai pengguna narkotika murni yang melaporkan atau dilaporkan atau pengguna narkotika murni yang tertangkap tangan dan telah mendapatkan vonis hakim berupa penjatuhan rehabilitasi wajib sifatnya untuk menjalani rehabilitasi tersebut. Dalam hal ini, untuk memulihkan ketergantungan terhadap kecanduan akan narkotika, maka diperlukan sebuah panti rehabilitasi disuatu wilayah hukum masing-masing. Namun kenyataannya, di Bangka Belitung sendiri hingga tahun 2011 ini belumlah memiliki tempat rehabilitasi bagi pecandu narkotika seperti yang dimaksud.
Untuk penanggulangan sementara terhadap hal tersebut, pihak Kepolisian Daerah dan Badan Narkotika Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menitipkan pecandu narkotika di Rumah Sakit Jiwa Sungailiat agar dapat melepaskan ketergantungannya terhadap narkotika. Namun, terhadap rehabilitasi dirasa tidak lagi efektif jika prosesnya dilakukan ditempat tersebut, karena dilapangan pelaksanaannya banyak didapati beberapa kendala dari para orang tua si pecandu narkotika itu sendiri. Mereka merasa tidak sepemikiran dan takut apabila anaknya dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa walaupun untuk kebaikan anaknya sendiri. Mereka beranggapan tidak tepat apabila anaknya yang tidak mengalami gangguan jiwa ditempatkan pada tempat perehabilitasian bagi pengidap gangguan jiwa. Sebenarnya yang harus diketahui bahwa di Rumah Sakit Jiwa Sungailiat itu terdapat ruangan khusus dan fasilitas beserta dengan tenaga ahlinya dalam bidang penanganan pecandu narkotika untuk direhabilitasi. Namun lagi-lagi, kendati para orangtua sudah diberitahukan hal-hal seperti itu, tetap mereka tidak menyetujui kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak Kepolisian Daerah dan Badan Narkotika tersebut. Walhasil, apabila tetap dipaksakan kebijakan tersebut kepada para orang tua dari pecandu narkotika, maka akibat yang akan timbul dari ketidaksetujuan titu adalah mereka takut untuk melaksanakan perintah undang-undang narkotika yang secara garis besarnya memerintahkan kepada orangtua dari anak yang mengkonsumsi hingga kecanduan terhadap narkotika tersebut melapor kepada Badan Narkotika atau Kepolisian Daerah.
Merujuk dari persoalan di atas, maka kini pihak Kepolisian Daerah dan Badan Narkotika telah mengubah prosedur terhadap perehabilitasian ke tempat yang secara khusus memang difungsikan untuk memulihkan ketergantungan pecandu terhadap narkotika. Tempat rehabilitasi yang dimaksud berada di Kabupaten Lido Jawa Barat, Sinambung Sumatera Utara dan Bali20. Dengan kebijakan yang telah di perbaharui ini, ternyata para orangtua bersangkutan dapat menerima dengan baik.
Dalam proses pengiriman pecandu narkotika guna perehabilitasian, orangtua yang bersangkutan akan diajak langsung oleh pihak Kepolisian dan Badan Narkotika ke tempat rehabilitasi yang dituju. Jadi, bagi setiap orang tua yang telah melaporkan anaknya yang mencandui narkotika, maka pihak Kepolisian dan Badan Narkotika akan selalu mengikut sertakan mereka dalam pemberangkatan anaknya ketempat rehabilitasi yang ditunjuk melalui kebijakan itu. selanjutnya akan disampaikan kepada para orang tua tentang sistem-sistem yang diterapkan di panti rehabilitasi yang mereka tuju sedetail mungkin hingga akhirnya para orang tua dapat mengerti serta memahami bahwa di panti rehabilitasi inilah nantinya anak mereka akan terlepas dari pengaruh ketagihan yang disebabkan oleh narkotika21.
Usainya proses rehabilitasi bagi pecandu narkotika sangatlah bervariasi, namun sejauh yang diketahui yang selama ini telah berjalan, maka hal itu tergantung dari seberapa berat tingkat kecanduan yang di alami oleh masing-masing pecandu, akan tetapi, biasanya rata-rata paling tinggi selama 1 tahun. Karena pada saat hampir memasuki masa tersebut, maka para tenaga ahli akan mengusahakan dengan semaksimal mungkin metode untuk melepaskan kecanduan dari seorang pecandu yang mereka tangani.
Harus selalu di ingat bahwa yang dibebankan untuk melakukan pelaporan kepada pihak yang berwenang dalam hal tindak pidana narkotika tidak hanya orang tua saja. Agar lebih tersistematis, maka apabila Ketua RT (Rukun Tetangga) atau warga setempat mengetahui bahwa terdapat salah satu warganya kecanduan narkotika, maka ia juga dibebankan untuk melaporkan tindak pidana tersebut kepada pihak yang berwenang. Namun patut untuk di ingat bahwa apabila ketua RT setempat ingin melaporkan tentang tindak pidana tersebut, maka ketua RT harus memberitahukan kepada keluarga pelaku yang bersangkutan terlebih dahulu. Disamping itu, selain dari pada RT, pihak kelurahan pun dibebani dengan kewajiban yang sama. Proses pelaporan yang dilakukan oleh pihak kelurahan juga tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh pihak RT.
Lebih mendalam dengan mengacu kepada undang-undang narkotika, maka secara hakekat, yang dibebankan untuk melaporkan apabila terjadi suatu tindak pidana yang menyangkut narkotika adalah seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan berdasar kepada seluruh ulasan yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka didalam bab ini penulis akan mencoba menarik kesimpulan yang antara lain adalah sebagai berikut :
1. Implementasi dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai ketentuan pasal didalam undang-undang tersebut yang belum diterapkan. Ketentuan yang belum diterapkan atau dilaksanakan tersebut meliputi berbagai hal dimulai dari fungsi kelembagaan yang mencakup fungsi sosialisasi, penyelidik, dan penyidik, dan pada pasal lainnya seperti fungsi rehabilitasi yang memang tidak bisa sama sekali dipergunakan oleh karena tidak adanya pusat rehabilitasi bagi pecandu narkotika di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung;
2. Pengguna narkotika memiliki dualisme pengertian. Yang pertama adalah pengguna murni yang melaporkan dirinya atau dilaporkan oleh keluarganya. Pada pengguna jenis ini, sikap yang ditempuh oleh pihak yang berwenang dalam menangani tindak pidana narkotika adalah dengan langsung memasukkan pengguna tersebut kedalam panti rehabilitasi untuk disembuhkan dari ketergantungannya terhadap narkotika. Yang kedua adalah pengguna murni yang tertangkap tangan. Bagi pengguna yang masuk kualifikasi ini akan segera dilaksanakan penyidikan seperti tindak pidana umum guna menentukan apakah status tersangka, apakah hanya sebatas pengguna murni atau juga sekaligus sebagai pengguna tidak murni. Yang terakhir adalah pengguna narkotika tidak murni. Pada pengguna ini, proses yang berlaku sama dengan proses yang dikenakan kepada pengguna murni yang tertangkap tangan;
3. Bagi para pelaku tindak pidana narkotika yang dikategorikan sebagai pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wilayah hukum Bangka Belitung akan dilakukan proses rehabilitasi yang dihitung sebagai masa hukuman pidana, dan untuk sementara perehabilitasian bagi mereka akan dilakukan di luar wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
B. SARAN
1. mengingat besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh narkotika, dan karena merupakan suatu tindak pidana yang sulit untuk diberantas, maka diharapkan kepada pemerintah Republik Indonesia agar memasukkan pengetahuan tentang narkotika kedalam kurikulum pendidikan agar ke depannya dapat mencegah dan menekan laju dari tindak pidana narkotika di Indonesia;
2. Kepada pihak yang berwenang dalam bidang pencegahan dan pemberantasan narkotika, diharapkan harus lebih menggiatkan program sosialisasi ke setiap pelosok daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tentang keseluruhan sendi dari narkotika dengan mempergunakan kata-kata yang sederhana agar dapat lebih mudah diserap oleh seluruh masyarakat yang menjadi subjek dari sosialisasi tersebut;
3. di perlukan penataan kembali terhadap pihak utama yang berperan sebagai penyelidik dan penyidik dari tindak pidana narkotika pada wilayah hukum Bangka Belitung agar dapat selaras dengan pengaturan yang telah digariskan oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
4. di butuhkan penyelenggaraan Badan Narkotika Nasional Kabupaten agar dapat lebih mudah untuk mengontrol dan mengawasi apabila suatu ketika terjadi tindak pidana narkotika. Selain itu, dimaksudkan agar bagi masyarakat yang jaraknya jauh dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Kota dapat lebih mudah untuk melaksanakan ketentuan dari undang-undang narkotika yang membebankan kewajiban kepadanya untuk melaporkan pelaku dari tindak pidana narkotika;
di harapkan penyelenggaraan pusat rehabilitasi medis atau sosial oleh pemerintah daerah di provinsi kepulauan bangka belitung untuk mempermudah pengontrolan pemerintah daerah, khususnya orang tua dari si pasien yang sedang dirawat pada pusat rehabilitasi tersebut. [1] “Banyak Remaja Terjerat Narkoba” [Berita], Bangka Pos, No. 313/XII, 15 April 2011, h. 1.
[2] Republik Indonesia, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Bab I, pasal I, ayat 21.
3 http://id.wikipedia.org/wiki/efektifitas, Di akses pada 25 Mei 2011
4 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung : 2003, h 1.
5 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta : 1987, h. 54.
7 Ibid, h. 130.
8 Wiryono Projodikoro, Op Cit, hlm 59.
2007, h. 111.
11 DR. MOH. HATTA, SH., Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta : 2009, h. 146.
12 Solahuddin, SH, KUHP & KUHAP, Visimedia, Jakarta, 2007.
13 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Bab I, pasal I, ayat 1.
14 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Bab I, pasal I, ayat 1.
18 Heru Wicaksono, S.H., PS Panit 1 Sat 1 Dit Res Narkoba, wawancara langsung, 26 Mei 2011.
17 Heru Wicaksono, S.H., PS Panit 1 Sat 1 Dit Res Narkoba Polda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, wawancara langsung, 26 Mei 2011.
18 Muchsin, S.H., Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Pangkalpinang, wawancara langsung, 17 Juni 2011.
19 Umar Busri, Kabid Penyuluhan Badan Narkotika Kota Pangkalpinang, wawancara langsung, 29 Mei 2011.
20 Muchlis, S.H., Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Pangkalpinang, wawancara langsung, 17 Juni 2011.
21 Umar Busri, Kabid Penyuluhan Badan Narkotika Kota Pangkalpinang, wawancara langsung, 29 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar