Rabu, 05 Oktober 2011

REFLEKSI KONDISI KEMANUSIAAN DAN UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Pancasila merupakan sebuah landasan dasar bagi negara Indonesia. Seluruh sila yang tergaris didalam Pancasila dirumuskan oleh para pendahulu kita dengan sedemikian rupa agar dapat membawa seluruh warga negaranya ke arah kehidupan yang bermoral dan berakhlak mulia sesuai dengan kehendak Tuhan YME. Sebagai dasar negara, eksistensi setiap sila yang ada didalamnya sudah selayaknya dilaksanakan dan diamalkan dengan baik lagi bijak. Namun ditengah perkembangan peradaban yang cepat seperti sekarang ini, banyak masyarakat kita yang kehilangan pegangan tersebut. Salah satu sila yang terkandung didalam pancasila yang kini implementasinya dirasa tidak lagi sejalan dengan lapangan praktis terdapat pada sila ke-2 dan sila ke-5. Sila ke-2 berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sedangkan sila ke-5 berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sudah tidak lagi dipraktekkan dilapangan konkritnya.
Kemajuan zaman yang ditenggarai oleh perkembangan tekhnologi dan pembangunan yang tidak berkeseimbangan yang di alami oleh negara Indonesia, kini telah mengakibatkan perubahan khas terhadap seluruh lini kehidupan Bangsa Indonesia, khususnya perubahan yang ekstentif terhadap kondisi kemanusiaan dan keadilan, sehingga keluar dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh Pancasila. Secara langsung, perubahan kondisi yang yang bertentangan dengan pancasila tersebut, kini dapat kita lihat dan bahkan kita rasakan sendiri disekitar kita. Barangkali pergeseran nilai yang tak lagi berpatokan dengan Pancasila memang belum terjadi pada semua wilayah negara Indonesia, akan tetapi apabila tidak segera dilakukan tindakan preventif terhadap keadaan ini, maka akan berakibat meluasnya penjamahan dampak dari kondisi ini.
Seperti yang kita lihat pada beberapa daerah, khususnya disetiap daerah Ibukota Provinsi, kristalisasi dari nilai-nilai luhur pancasila tidak lagi berdiri tegak seperti dulu. Hal ini tampak secara eksplisit pada pola sikap dan perilaku seluruh masyarakatnya yang sudah terbiasa saling melanggar hak asasi manusia antar sesamanya. Keadaan ini diperparah lagi dengan tidak adanya keobjektifitasan keadilan bagi masyarakat yang secara hakekat telah dilanggar hak asasinya. Berdasarkan keadaan ini, wajar kiranya menyebabkan perubahan yang mendasar terhadap rasa kemanusiaan dan keadilan didalam kehidupan masyarakat. Apalagi tindakan pelanggaran terhadap rasa kemanusiaan dan keadilan yang dirasa tidak lagi berlandaskan kepada budi luhur tersebut telah melampaui batas-batas kemerdekaan dan kelayakan mereka sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Bukankah dengan tidak di indahkannya batas-batas  hak asasi manusia oleh seseorang terhadap oranglain secara tidak langsung telah menghilangkan kepangkatan seseorang sebagai manusia? Jelas! Antar sesama manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pencaplokan paksa terhadap hak asasi manusia yang tidak sesuai dengan peraturan hukum tidak dapat ditoleransi dan dapat dicap stempelkan sebagai pencabutan gelar kepangkatan manusia bagi manusia yang merasakannya. Sudah seharusnya bagi pelaku pelanggaran tersebut dikenakan hukuman yang sepantasnya untuk mempertanggungjawabkan sekaligus membinanya agar tidak lagi mengulangi tindakan pelanggaran dikemudian hari, dan agar korban dari pelanggaran tersebut dapat merasakan ketenangan oleh karena keadilan yang diterapkan memang tergaris objektif. Dilain sisi, apabila seseorang yang jelas-jelas telah melakukan perendahan terhadap harkat dan martabat orang lain tidak dikenakan hukum atau sanksi, maka akan menyebabkan tidak terpenuhinya rasa keadilan bukan hanya bagi korbannya saja, tetapi juga bagi seluruh masyarakatnya. Selain itu, perbuatan tersebut juga akan memicu Respon Negatif dan Positif dari masyarakat. Respon tersebut akan diuraikan seperti dibawah ini :

I. Respon Negatif yaitu sebagai berikut:
1.      berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum;
2.    dengan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum, maka akan mengakibatkan perilaku penghakiman privat terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia;
3.  perilaku penghakiman privat merupakan cerminan dari masyarakat yang tidak lagi menaruh kepercayaan terhadap penegak hukum, dan sekaligus merupakan tindakan yang juga melanggar hak asasi manusia pelaku pelanggaran hak asasi manusia;
4.   terjadi kekacauan yang carut marut didalam kehidupan masyarakat yang berpotensi meluas ke daerah-daerah lainnya.

II. Respon Positif yaitu sebagai berikut :
1.    terpicunya aksi pelanggaran hak asasi manusia yang selanjutnya, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab lainnya;
2.   para pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dikarenakan tidak takut dan menganggap lemah serta rendah kehormatan aparat penegak hukum.
Secara konkrit, antara respon negatif dan positif memang tidak ada perbedaannya, karena terhadap dampak yang dikeluarkan oleh respon positif ternyata juga sama dengan apa yang ditimbulkan oleh respon negatif, akan tetapi teoritisnya, diantara kedua respon tersebut terdapat perbedaan. Perbedaan mendasar pada kedua respon tersebut terletak pada masyarakatnya. Dapat disimpulkan bahwa pada respon negatif, masyarakat yang sebelumnya memang berlandaskan kepada hati nurani terhadap hal-hal yang relevan dengan kemanusiaan, berubah drastis menjadi bengis serta tidak bermoral setelah tidak mendapatkan rasa keadilan sejati. Sedangkan pada respon positif, lebih ditekankan kepada golongan pribadi masyarakat yang memang sejak semula sudah memiliki potensi atau cikal bakal untuk melakukan pelanggaran terhadap hak kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan 2 faktor yang mengikutinya berdasarkan kriminologi yang menyatakan bahwa sifat kriminil pada seseorang sudah didapatkan semenjak lahir dan melalui keadaan lingkungan kediamannya.
Bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan yang ditimbulkan oleh respon negatif dan positif, secara hakekat belum dapat dikatakan ajeg, karena situasi dan kondisi yang dipengaruhi oleh arus lalulintas yang cepat dari pembangunan dan tekhnologi bisa saja membawa perubahan yang bersifat relatif terhadap perkembangan psikologis dan sosialogis masyarakat. Membarometerkan realita tersebut memang sah-sah saja, akan tetapi menentukan secara mutlak dengan pola limitatif merupakan tindakan yang sangat improper.
Berangkat dari uraian diatas, maka sudah seyogyanya kita secara bersama-sama wajib untuk mengedepankan rasa kemanusiaan yang barangkali masih dimiliki untuk melakukan perbaikan terhadap rasa kemanusiaan melalui upaya perwujudan keadilan sosial di negara ini. Secara bijak, ada baiknya kita mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk menyuarakan serta menyikapi peristiwa ini dengan lebih mengedepankan sisi edukasi dengan ketulusan hati dan pendekatan secara manusiawi, yaitu dengan mengaplikasikan tindakan preventif dan represif demi memulihkan kondisi negatif yang terjadi akibat penindasan dan tirani dari kecongkakan para pihak yang tidak bermoral dan bertanggung jawab.

  1. Permasalahan
Permasalahan langsung yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini bertitik pangkal pada kondisi kemanusiaan dan keadilan yang konkrit, yang tidak lagi selaras dengan kehendak Pancasila sebagai dasar panutan dan cerminan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Apabila dituangkan kedalam bentuk poin maka akan ditemui dua permasalahan yang dianggap cukup spesifik, yaitu sebagai berikut :
1.         Bagaimanakah Proper Solution untuk mengembalikan kondisi kemanusiaan sesuai dengan konsep Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945?
2.            Bagaimanakah sistematik yang harus dibangun terkait upaya mewujudkan keadilan sosial di negara Indonesia?

  1. Ruang Lingkup
Berdasarkan tema didalam kepenulisan karya ilmiah ini, dengan terlebih dahulu mengingat ekstentifnya materi yang relevan dengan lapangan konkrit yang harus dijamah, maka ruang lingkup dalam karya ilmiah ini dikerucutkan dengan sedemikian rupa kepada beberapa penggalan dari peristiwa-peristiwa konkrit yang terjadi di Negara Indonesia, yang berhubungan erat dengan tema karya ilmiah ini.

  1. Hipotesa
Sebagai barometer dalam karya ilmiah ini, penulis berpegangan teguh kepada hipotesa sebagai kesimpulan sementara agar dapat mempermudah penulis dalam menguraikan materi bahasannya.
Kondisi kemanusiaan dan upaya mewujudkan keadilan sosial merupakan satu kesatuan hal yang tidak dapat dipisahkan. Pertalian eksistensi antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, karena diantara keduanya memang saling memerlukan antar satu dengan yang lainnya. Demi tercapainya kondisi kemanusiaan dengan cerminan Pancasila dan sumber moral lainnya, maka usaha yang harus dilaksanakan adalah dengan upaya pendekatan dan pengkristalisasian kesadaran hukum menjadi sebuah kebudayaan atau tradisi yang mengakar kuat kedalam masyarakat tersebut. Dapat disimpulkan bahwa relevansi antara kemanusiaan dan keadilan menyerupai dua sisi mata uang logam. Dengan tercapainya kondisi kemanusiaan yang kondusif, maka secara langsung berimbas kepada keadilan yang merata yang berpegang teguh kepada hati nurani masyarakat, dan seperti yang di inginkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

  1. Metode Penelitian
Karya ilmiah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metedologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten bermakna tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.
Dalam penyusunan karya Ilmiah ini, penulis mempergunakan metode penelitian  sebagai berikut :
  1. Metode penelitian kepustakaan (metode penelitian normatif) Adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup :
a.       Bahan primer yaitu bahan-bahan yang mengikat seperti peraturan dasar, peraturan Perundang-Undangan, buku-buku, literatur yang ada kaitanya dengan karya ilmiah ini.
b.      Bahan sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

  1. SISTEMATIKA
Secara keseluruhan, uraian dalam penelitian ini disajikan dengan sisitematika sebagai berikut :
BAB I       PENDAHULUAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai latar belakang, permasalahan, ruang lingkup, hipotesa, metode penelitian, dan sistematika.
BAB II      TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini menguraikan mengenai Kemanusiaan dan Keadilan Berdasarkan UUD 1945, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Norma-Norma Dalam Kehidupan Bermasyarakat, dan Kesadaran Hukum Bermasyarakat. 
BAB III REFLEKSI KONDISI KEMANUSIAAN DAN UPAYA MEWUJUDKAN     KEADILAN SOSIAL
Pada bab ini menguraikan mengenai langkah-langkah atau jalur tempuh yang dianggap cukup memadai untuk melakukan refleksi terhadap kondisi kemanusiaan sesuai dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia, dan mengenai upaya-upaya yang harus dilakukan melalui tindakan nyata demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan penggarisan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
BAB IV     PENUTUP
Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran serta dilampirkanya daftar pustaka


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     Kemanusiaan dan Keadilan Berdasarkan UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kristaliasi daripada nilai-nilai moral yang terkandung didalam Pancasila. Pancasila sendiri sebagai dasar dari negara Indonesia merupakan sebuah landasan filosofis bagi seluruh warga negara Indonesia. Berpedoman kepada setiap butir pasal yang ada didalamnya, maka didalam kehidupan bermasyarakat hendaklah terjalin rasa saling menghormati dan menjaga keharmonisan antar individu dengan individu lainnya selaku manusia yang berkedudukan sebagai makhluk sosial dengan menjaga sikap dan perilaku agar terbina dan terjaga suatu kehidupan layak yang menjamin kemerdekaan bagi seluruh warga negara Indonesia. Akan tetapi, dewasa ini, negara Indonesia sudah mengalami goncangan hebat akibat krisis kemanusiaan yang dibarengi serta dengan krisis kualitas keadilan yang telah melenceng jauh dari cerminan moral, agama, keamanan, dan ketertiban. Pada dasarnya, pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Tentunya, sebagai negara yang berbasis hukum, seluruh sendi kehidupan masyarakatnya telah ditetapkan kedalam aturan-aturan.
Sebagai warga dari negara hukum, setiap penduduk sudah dijamin hak-haknya oleh pemerintah. Hak dasar yang menjadi prioritas utama disini adalah Hak Asasi Manusia atau yang kerap di akronimkan dengan “HAM”. HAM adalah hak utama yang diberikan oleh Tuhan YME bagi setiap manusia. Oleh karena hak ini bersumber dari Tuhan YME secara langsung, maka kehadirannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Kalau pun ada yang melanggar HAM seseorang, maka sesuai dengan cermin hukum, pelaku pelanggaran tersebut harus dikenakan sanksi hukum oleh negara. Di dalam undang-undang 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia secara tegas dituangkan kedalam pasal 28J, yang berbunyi, “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Penjabaran sepenuhnya mengenai apa saja hak-hak kemanusiaan setiap orang diatur didalam pasal 28A sampai dengan 28I. Inilah sepanjang pengaturan mengenai HAM yang senantiasa dijaga kelangsungannya oleh negara.
Selanjutnya, demi menjamin dan menegakkan eksistensi HAM, maka diciptakanlah peraturan hukum sebagai garis batas yang mengatur garis batas tindakan antara seseorang dengan seseorang lainnya. Apabila kedapatan seseorang melanggar garis batas tindakan seseorang, maka keberlakuan hukum tersebut akan mengikatnya, dan kepadanya akan dijatuhkan sanksi sesuai dengan apa yang telah digariskan. Demi untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia, pemerintah juga telah menciptakan instrument hukum yang dikenal dengan aparat penegak hukum. Jadi, sebenarnya tujuan dirumuskannya Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri tidak lain adalah untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia.

B.     Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan bunyi sila ke- 2 dari dasar negara Indonesia. Seluruh sila didalam Pancasila adalah tatanan moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi, kehadiran Pancasila berfungsi sebagai pedoman keharusan bagi sifat serta tingkah laku manusia dalam menjalani kehidupan. Khusus terhadap sila ke- 2 ini, Pancasila memerintahkan agar dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, terutama antar sesama makhluk sosial, haruslah mengedepankan rasa keadilan dan kebiadaban yang selaras dengan norma-norma kehidupan. Perintah keharusan yang ada didalam pancasila ini hakekatnya merupakan keharusan yang imperatif, sebab telah diatur lebih lanjut mengenai penjabarannya pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentunya untuk menjamin suatu kehidupan kemanusiaan dengan kualitas yang positif serta layak, maka diperlukan pedoman guna membatasi perilaku manusia tersebut.
Tegasnya, sila ke-2 dari pancasila memerintahkan kepada setiap manusia agar dalam berkehidupan sosial harus senantiasa bersikap adil dan beradab. Rasa adil atau keadilan didalam pancasila ini adalah rasa adil yang digantungkan kepada hati nurani, bukan kepada kepentingan diri pribadi atau golongan semata. Apabila salah, maka kita wajib untuk mengatakan salah, dan apabila benar, maka kita wajib untuk mengatakan benar. Lebih mendalam, rasa keadilan juga merupakan sebuah rasa yang selalu didasarkan kepada kebenaran dan kebaikan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa konteks kebenaran dan kebaikan disini bukan merupakan kebenaran yang didasarkan kepada perspektif subjektif saja, melainkan harus didasarkan kepada perspektif objektif agar dapat berorientasi kepada esensi kebaikan dan keluhuran budi. Sedangkan makna dari kata beradab adalah wajib bagi sesama makhluk sosial untuk saling menjaga kesopanan. Jadi, esensinya konsep dari kata beradab ini sesungguhnya dibangun dari salah satu norma kehidupan, yaitu norma kesopanan.
Dalam hal kemanusiaan, pokok muatan darinya kerap dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia. Benar, Hak Asasi Manusia atau HAM merupakan muatan sejati dari kemanusiaan. Karenanya kemanusiaan harus selalu dijaga eksistensinya agar dapat menggenerasi kepada keturunan-keturunan Bangsa Indonesia kelak.
Perikemanusiaan diciptakan dengan berbagai sifat yang antara satu dengan yang lainnya berbeda secara konkrit. Oleh karena perbedaan inilah maka didalam kehidupan bermasyarakat kerap terjadi perbedaan harapan, pendapat, asumsi, dll. Akan tetapi, meskipun terdapat perbedaan diantara mereka, hal tersebut sudah menjadi suatu kelaziman. Namun, apabila ada dua orang yang berbeda pokok pemikiran, dan salah satu dari mereka tidak dapat menerima pendapat lawannya, lalu memaksakan kehendaknya kepada orang tersebut agar sama dengan pendapatnya. Ini adalah hal yang sangat tidak diperbolehkan dalam tatakrama kehidupan sosial, karena perbuatan atau tindakan seperti ini dapat dikatakan telah melanggar HAM seseorang.
Sekarang dapat kita sadari betapa esensiilnya HAM bagi seseorang. Sebuah hak yang memang keberadaannya selalu dilindungi dan memiliki sifat wajib untuk selalu dihormati. Dalam kaitannya dengan kemanusiaan, tentunya, oleh karena HAM merupakan muatan resmi dari kemanusiaan, berarti dapat kita simpulkan betapa pentingnya kemanusiaan ini untuk selalu dilaksanakan sesuai dengan perintah peraturan hukum yang telah di undangkan, khususnya selaras dengan Pancasila.

C.     Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia merupakan bunyi sila ke-5 dari Pancasila. Secara harfiah, sudah sedikit dibahas mengenai makna dan bagaimanakah seharusnya pendirian dari keadilan ini pada bab sebelumnya. Akan tetapi, disini akan lebih dibahas secara mendetail agar dapat menemukan esensi dari keadilan tersebut.
Secara logika kita memahami bahwa keadilan merupakan unsur esensiil yang harus dilaksanakan demi mewujudkan suatu keamanan dan ketertiban bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk memenuhi keamanan dan ketertiban tersebut, sudah tentu keadilan yang harus dilaksanakan adalah keadilan yang berpangkal pada landasan hati nurani agar dapat bermuara pada prinsip objektifitas. Dalam mencari keadilan sejati, dapat juga dilakukan dengan meletakkan kepentingan privat dibawah kepentingan publik, akan tetapi perlu diingat bahwa hal ini mutlak harus dilakukan apabila memang keobjektifitasan dari kepentingan privat tersebut dianggap improper terhadap kepentingan publik. Jelasnya apabila memang sesuai dengan perintah norma hukum yang mengaturnya, maka harus dilaksanakan demikian.
Secara lahiriah, rasa keadilan sebenarnya sudah tertanam didalam setiap diri pribadi manusia. Hingga sampai manusia tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, kehadiran keadilan tersebut akan selalu dipelihara oleh norma Agama. Oleh karena tidak ada Agama yang meletakkan ajarannya kepada hal yang bertentangan dengan norma lainnya, maka, kaitan norma Agama juga kerap dikaitkan dengan norma-norma kehidupan lainnya, seperti norma kesusilaan, kesopanan dan norma hukum.
Norma Agama sebagai landasan lahiriah keadilan, biasa menamakan keadilan dengan kata kebenaran. Hal ini sesuai dengan seluruh prinsip ajaran didalam setiap Agama yang secara harfiah mengajarkan hal-hal yang benar kepada umatnya. Tidak ada satu pun Agama yang mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma lainnya, tidak ada Agama yang menyesatkan umatnya. Secara logika, manusia dapat berfikir tentang kebenaran, jadi, apabila Agama pegangannya terasa menyesatkan dirinya, maka sudah tentu ia akan menolak kehadiran Agama tersebut, bahkan ia dapat memberhentikan dirinya menjadi umat dari Agama tersebut.
Mengenai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, secara langsung, garis umum dari kalimat ini menyentuh seluruh rakyat, rumpun dan bangsa yang mendiami Negara Indonesia, tanpa terkecuali harus mendapatkan keadilan yang berlandaskan kepada hati nurani dan norma-norma kehidupan yang secara nyata telah dituangkan kedalam dasar Negara Indonesia dan dijabarkan kedalam Undang-Undang Dasar 1945.
Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka setiap Individu wajib mendapatkan keadilan yang telah dipelihara oleh norma hukum. Namun, apabila ternyata ada individu yang tidak mendapatkan keadilan sejati, maka dapat dikatakan bahwa keadilan yang di gaungkan oleh dasar negara belum terpenuhi secara utuh.

D.    Norma-Norma Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Dalam menjalani kehidupan, baik dalam sekrup bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, terdapat aturan-aturan yang membatasi hal-hal yang layak untuk dilakukan dan yang tidak layak untuk dilakukan. Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang dari hati nurani dan logika manusia. Aturan-aturan tersebut dinamakan dengan norma-norma.
Norma atau aturan adalah kaedah-kaedah kehidupan yang berisikan tentang hal mana diperbolehkan dan hal mana yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan, dan apabila tidak di indahkan, maka akan mendapatkan akibatnya. Inilah pengertian norma secara umum. Kehadiran norma bertujuan untuk mengarahkan kehidupan manusia agar tercapai ketertiban didalam kehidupan. didalam kehidupan, terdapat empat jenis norma. Norma-norma tersebut meliputi norma Agama, Kesusilaan, Kesopanan, dan Hukum. Untuk memperjelas makna dari norma-norma diatas, akan diuraikan dibawah ini.
  1. Norma Agama
Norma Agama berasal dari Agama-agama yang diturunkan ke atas muka bumi ini. Agama-agama yang diturunkan ini merupakan sumber utama dari norma ini. Setiap agama memiliki kitabnya masing-masing yang berbeda dengan yang lainnya. Dari kitab inilah muncul sebuah norma yang kehadirannya berawal dari logika penafsiran manusia terhadap isi dan kandungannya yang memuat perintah dan larangan bagi kehidupan manusia. Norma agama merupakan tatanan aturan yang berasal langsung dari Tuhan. Aturan ini dapat berupa wahyu dan kitab masing-masing Agama. Fungsi utama kehadiran Agama ke dunia ini adalah untuk menuntun umat manusia mengarungi kehidupan duniawi agar dapat bermuara kepada kebaikan. Namun, ada pula beberapa agama yang bukan berasal dari Tuhan, melainkan tumbuh dan berkembang dari rasio manusia atau yang biasa disebut dengan filsafat. Agama tersebut adalah kong fu chu. Mengenai agama yang dihasilkan oleh filsafat ini, kita tidak akan menyinggungnya terlalu jauh, karena memang ini hanya untuk sekedarnya saja.
Apabila seseorang melanggar norma agama, maka akan berakibat orang itu merasa sangat berdosa, dan kelak akan mendapatkan siksaan didunia ini nantinya, atau siksaan yang teramat pedih kelak akan dialaminya di akhirat atas perbuatan yang telah dilakukannya sewaktu ia hidup. Memang, akibat yang didapatkan dari pelanggaran norma ini tidak serta merta dapat langsung terjadi. Proses terjadinya baru akan terlaksana setelah manusia meninggal dan menuju akhirat.

  1. Norma Kesusilaan
Norma Kesusilaan adalah norma-norma yang berpangkal kepada hati nurani manusia. Secara umum, norma kesusilaan ini kerap dikaitkan dengan norma agama. Memang, antara norma kesusilaan dan keagamaan terdapat kemiripan yang khas. Apabila ada seseorang yang tidak menganut kepercayaan terhadap suatu agama manapun, maka tiada pegangan lah orang tersebut kepada aturan-aturan dalam kehidupan. Akan tetapi untuk mengantisipasi hal ini, maka orang tersebut tidak akan pernah mengabaikan norma kesusilaan sebagai pedoman hidupnya.
Norma kesusilaan pun memiliki akibat apabila aturan-aturan didalamnya dilanggar oleh seseorang. Akibat yang ditimbulkan oleh norma ini adalah akan membuat seseorang yang melanggarnya merasakan penyesalan yang mendalam yang disertai dengan perasaan berdosa, dan keseluruhan perasaan tersebut akan tetap tinggal didalam hati nuraninya.
  1. Norma Kesopanan
Norma kesopanan merupakan norma yang tumbuh dan berkembang melalui proses perkembangan kehidupan manusia. Norma ini berasal dari proses-proses pemikiran manusia tentang sesuatu yang baik dan sesuatu yang tidak baik, atau yang biasanya disebut dengan etika. Sebenarnya, esensi norma ini juga berasal dari Agama dan Kesusilaan. Akan tetapi, meskipun berasal dari norma-norma lainnya, eksistensinya tetap dipisahkan dari norma Agama dan Kesusilaan.
Barangkali kita sudah memahami bersama akan makna kesopanan. Secara umum, kesopanan merupakan suatu tindakan manusia yang ber-etika dan ber-estetika. Definisi etika adalah segala sesuatu hal tentang yang baik dan yang buruk. Sedangkan estetika adalah segala sesuatu yang indah. Jadi, kesopanan adalah suatu tindakan manusia yang mengerti akan hal mana yang baik dan mana yang buruk, serta hal mana yang indah untuk dilakukan terhadap sesama manusia. Contoh dari norma ini adalah kesopanan seorang anak terhadap orang tuanya, kesopanan seorang murid terhadap gurunya, kesopanan seseorang terhadap orang lain, dll. Tatacara untuk beradab sopan ini bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya bisa dengan menghormati orang lain dengan berperilaku baik kepada setiap orang, tanpa kecuali.
Seperti norma lainnya yang memiliki akibat apabila dilanggar, norma kesopanan pun memiliki akibat tersebut. Apabila seseorang melanggar norma kesopanan melalui tindakan tidak menghormati orang lain atau tidak berperilaku baik kepada orang lain, maka setelah hal tersebut usai dilakukan, akan timbul rasa malu karena celaan dari masyarakat terhadap orang yang melanggar tersebut, dan akan diasingkan oleh masyarakat yang ada disekitarnya.

  1. Norma Hukum
Norma Hukum adalah aturan-aturan tentang berperilaku manusia tentang baik atau buruk, dan bagi orang yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi nyata. Norma hukum sangat berbeda dengan norma-norma lainnya. Hal ini disebabkan, norma hukum diciptakan untuk memelihara eksistensi dari norma-norma lainnya, yaitu Agama, Kesusilaan dan Kesopanan. Tujuan diadakannya norma ini tidak lain adalah untuk mengatur perilaku manusia agar selaras dengan apa yang dikehendaki. Yang perlu diingat dari norma ini adalah, bahwa kehadiran serta keberlakuannya bersifat memaksa dan tidak dapat ditolak. Tidak ada tawar menawar didalam norma ini. Oleh karena norma hukum dipergunakan untuk mengatur kehidupan manusia pada masa hidup dunia. Jadi, norma ini bersifat duniawi, karena hanya mengatur mengenai hal-hal sepanjang manusia hidup didunia. Norma ini bisa juga dikatakan bersifat materiil, karena relevansinya hanya terhadap urusan nyata atau konkrit saja. Agar dapat ditaati oleh masyarakat, maka kehadiran norma hukum ada yang tertera tidak tertulis dan tertulis. Norma hukum yang tidak tertulis biasanya berlaku bagi masyarakat tertentu, dalam hal ini berlaku bagi masyarakat adat, dalam arti masyarakat yang adat istiadatnya mempengaruhi seratus persen gerak hidup masyarakatnya. Sedangkan norma hukum yang tertulis, secara umum disebut dengan undang-undang. Contoh dari norma ini adalah misalkan didalam undang-undang dikatakan bahwa dilarang keras mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan atau izin dari pemilik barang tersebut. Atau contoh lainnya adalah dilarang keras meninggalkan seseorang yang nyawanya sedang sekarat hingga berakibat matinya seseorang tersebut.
Terhadap norma ini terdapat akibat yang berbeda dari akibat yang ditimbulkan oleh norma-norma lainnya. Akibat yang ditimbulkan oleh norma ini seketika langsung dapat dirasakan oleh pelanggarnya. Akibat dari pelanggaran norma ini biasanya disebut dengan sanksi hukuman. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa keberlakuan norma hukum ini bersifat memaksa. Jadi, penerapan sanksi hukuman terhadap orang-orang yang tak mengindahkan norma hukum akan dilaksanakan dengan paksaan oleh negara atau alat negara. Sanksi hukuman ini bermacam-macam adanya. Pada umumnya seorang pelanggar akan dijatuhi hukuman sandera yang berupa perampasan hak kemerdekaan terhadap dirinya sendiri. Jadi seseorang yang melanggar norma hukum akan dirampas kemerdekaannya. Lalu siapakah yang akan merampas kemerdekaan orang tersebut? Yang akan merampasnya dari orang itu adalah Negara.
Tujuan dijatuhkannya sanksi hukuman yang memaksa terhadap seseorang merupakan wujud dari kepedulian negara untuk menjaga perdamaian dan ketertiban melalui pemeliharaan norma Agama, Kesusilaan dan Kesopanan. Diharapkan bagi pelaku pelanggaran yang sudah selesai menjalani sanksi hukumannya dapat merubah jalan hidupnya dengan tidak mengulangi perbuatannya yang lalu.
Dirampasnya hak kemerdekaan seseorang oleh negara bukanlah serta merta menghilangkan hak asasi dari si terhukum tersebut, akan tetapi dengan dijatuhkannya hukuman penjara untuk beberapa waktu tertentu akan dapat membina dan mendidik melalui pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukannya. Jadi, meskipun pelaku di penjara, akan tetapi, negara juga ambil peduli terhadapnya dengan cara kembali membentuk moral dan akhlak pelaku agar pada saat kembali ke tengah-tengah masyarakat, ia dapat kembali diterima dengan baik.
Bertitik pangkal pada penjelasan diatas, dapat disimpulkan bawah norma-norma dalam kehidupan manusia memiliki peran dan batasan-batasan serta akibatnya yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Jikalau akibat yang diberikan oleh norma Agama, Kesusilaan dan Kesopanan tidak dapat membuat jera pelaku pelanggaran, maka demi tegaknya ketiga norma tadi, norma hukum lah yang akan tampil kedepan untuk memberikan efek jera secara paksa kepada pelaku agar dikemudian hari tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama.

E.     Kesadaran Hukum Bermasyarakat
Bermasyarakat merupakan kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk yang tergolong sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, ini berarti bahwa manusia membutuhkan orang lain untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Kebutuhan manusia yang satu dengan manusia lainnya meliputi berbagai hal, akan tetapi yang esensiil adalah bahwa manusia membutuhkan interaksi dalam berbagai bentuk dengan manusia lainnya. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah komunikasi. Komunikasi antar manusia satu dengan lainnya dianggap merupakan suatu interaksi yang teramat penting keberadaannya, karena tanpa tindakan ini, manusia tidak akan pernah bisa terus melangsungkan kehidupannya.
Di dalam manusia yang sudah membentuk hidup bermasyarakat, demi untuk membatasi sikap atau perilaku antara satu individu terhadap individu lainnya, maka dibutuhkan suatu perangkat hukum. Perangkat hukum tersebut adalah undang-undang dan aparat penegak hukum yang dibentuk oleh negara. tujuan dibentuknya perangkat hukum ini adalah untuk membatasi sikap tindak manusia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, bahkan dalam sekrup ekstentif, yaitu berbangsa dan bernegara.
Dengan adanya berbagai peraturan yang mengikat bagi setiap individu didalam masyarakat, maka secara sadar individu dapat menahan segala niat dan perilaku buruk yang akan merugikan kepentingan orang lain, sekaligus meresahkan masyarakat lainnya. Apabila setiap individu sudah dapat hidup dalam keseharian dengan mematuhi peraturan hukum yang dibentuk tersebut, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut sudah memiliki kesadaran hukum yang tinggi, sehingga berimbas kepada keamanan dan ketertiban bagi kelangsungan perjalanan masyarakatnya secara menggenerasi.
Kesadaran hukum didalam kehidupan bermasyarakat merupakan elemen yang sangat penting bagi tegaknya sebuah atau lebih peraturan hukum. Setelah produk hukum diterbitkan oleh pemerintah melalui legislator, selanjutnya merupakan peran negara adalah mensosialisasikan produk tersebut kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui persis mengenai peraturan tersebut. Akan tetapi, sosialisasi tidak dapat dikatakan sebagai metode yang efektif dan efisien serta tepat seluruh sasaran. Maka untuk mengantisipasi hal ini, peran yang paling terasa menunjang adalah peranan dari kesadaran masyarakat itu sendiri terhadap hukum. Lantas bagaimanakah cara menyadari hukum apabila tidak mengetahui produk hukumnya? Dalam hal ini, banyak cara yang dapat kita pergunakan, salah satunya adalah dengan bertanya kepada keluarga, sahabat, teman, tetangga, lembaga pemerintahan yang berwenang, dll. Atau bila memang ingin lebih tepat dan cepat, dapat mengakses fasilitas tekhnologi, yakni internet yang dizaman kini bukan lagi dianggap suatu barang yang langka dan mahal.
Demi perkembangan dan kelangsungannya, keberadaan kesadaran hukum perlu untuk dilestarikan agar tidak lekang termakan oleh waktu. Karena seiring dengan pertumbuhan cepat zaman ini, berarti mendesak pula seluruh tingkat masyarakat untuk melakukan aklimatisasi. Demi kelancarannya, pelestarian in harus didukung dan dilaksanakan serta oleh seluruh masyarakat dan pemerintah wilayah yang bersangkutan. Langkah pelestarian yang berkelanjutan, akan menyebabkan kebiasaan bagi masyarakat, dan setelah itu, secara berkesinambungan, kebiasaan tersebut akan menjelma menjadi budaya atau tradisi yang mengakar dari masyarakat yang bersangkutan.
Sudah tentu kita tahu bahwa budaya merupakan bagian dari tatakehidupan penting didalam masyarakat. Akan tetapi, meskipun merupakan akar dari suatu masyarakat, eksistensinya juga tidak bisa dikatakan permanen. Ia dapat saja menjadi temporer apabila proses perkembangan zaman melewati lingkungan masyarakat tersebut, dan masyarakat tersebut tidak berusaha menyeimbangkan antara pelestarian kebudayaaan dan pembangunan yang berkelanjutan. Boleh saja mengusung pembangunan yang berkelanjutan, akan tetapi yang wajib untuk diingat serta dilaksanakan adalah tetap memperhatikan dan menjaga kebudayaannya. Jadi, budaya kesadaran hukum bermasyarakat dapat dibangun oleh masyarakat yang bersangkutan, dan upaya untuk menjaga serta eksistensi dari kebudayaan ini agar tidak punah harus secara kontinyu digiatkan.


BAB III
REFLEKSI KONDISI KEMANUSIAAN
DAN UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL

A.     PROPER SOLUTION UNTUK MENGEMBALIKAN KONDISI KEMANUSIAAN SESUAI DENGAN KONSEP PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Saat ini kondisi kemanusiaan di negara Indonesia sedang mengalami masa paceklik. Terpuruknya mental dan moral serta akhlak bangsa ini telah memicu terjadinya kerenggangan sosial yang signifikan antar individu satu dengan individu lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, didepan mata dan telinga, kita kerap dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang menyinggung, bahkan meniadakan hak asasi manusia seseorang.  Seperti yang kita saksikan, hal-hal seperti pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, perkelahian, perjudian, dll sudah dianggap biasa terjadi. Peristiwa yang telah berlangsung berlarut-larut ini terjadi karena pengaruh peradaban yang kian hari kian pesat perkembangannya, hingga akhirnya memacu berbagai desakan kehidupan, khususnya desakan ekonomi bagi setiap orang. Yang sangat disayangkan, pergeseran peradaban yang mengglobal tersebut kerap dirasa tidak balance dengan culture dari suatu masyarakat daerah. Walhasil, kejayaan dipegang oleh pihak pembangunan dan tekhnologi, sedangkan nilai-nilai culture yang meliputi kebiasaan, kebudayaan dan tradisi suatu daerah sirna tanpa bekas dari peredarannya.
Peristiwa diatas merupakan fakta yang telah terjadi, bahkan masih terjadi hingga saat ini. Sungguh sebuah realitas ironi yang kita dirasakan. Kebudayaan positif yang telah dibangun atau diciptakan oleh para nenek moyang kita dahulu sebagai suatu ciri khas antar satu daerah dengan daerah lainnya lenyap sudah tanpa jejak.
Satu realitas lagi, disamping keterpurukan kondisi kemanusiaan yang sedang berlangsung, nampaknya saat ini negara kita juga sedang dirundung oleh krisis keadilan. Berbagai kenyataan yang menyimpang dari keadilan hati nurani masyarakat kerap terjadi didepan mata kita. Seperti yang juga sering kita saksikan pada media televisi dan media cetak, kondisi keadilan yang sedang kita alami, kini ternyata sudah teramat parah. Sedikit flashback mengenai kasus yang masih aktual. Masih ingatkah kita dengan beberapa rentetan kasus korupsi yang marak terjadi akhir-akhir ini? Tentunya kasus-kasus tersebut bukan merupakan varia peristiwa yang bisa dilupakan dengan cepat.
Peristiwa korupsi yang terjadi di Indonesia bukan merupakan wajah lama yang menghiasi perjalanan pemerintahan kita. Seperti yang kita tahu bahwa akibat yang ditimbulkan oleh pelaku korupsi ini adalah kerugian bagi keuangan negara. Hal ini berarti, akibat yang ditimbulkan oleh praktek korupsi dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian pada suatu negara. Apabila semakin banyak praktek korupsi yang dilakukan di Indonesia, maka lama kelamaan, kondisi keuangan negara kita akan terpuruk, bahkan tak menutup kemungkinan kita akan kembali mengalami krisis moneter seperti yang pernah kita rasakan dahulu. Demi mencari balansi keadilan agar dapat membarometerkan bagaimanakah kondisi dari keadilan kita saat ini, akan kita bandingkan kasus antara tindakan korupsi dan pencurian biasa.
Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa tindakan korupsi sangat membahayakan kelangsungan sebuah negara dan kesejahteraan rakyatnya. Didalam undang-undang korupsi, ancaman hukuman penjara, denda, dan kurungan yang dijatuhkan oleh pemerintah atas pelaku perbuatan ini dapat dikatakan cukup mengerikan. Akan tetapi, pada perirealitanya, banyak sekali para pelaku korupsi yang tidak dihukum dengan sebagaimana ancaman hukuman yang telah diatur oleh Undang-Undang. Sedangkan pada kasus pencurian biasa yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Vonis yang dijatuhkan oleh hakim sangat dekat dengan ancaman yang telah diatur oleh Undang-Undang. Apakah ini adil dan beradab? Tidak!
Keadaan diatas telah membuat resah dan gelisah mayoritas masyarakat kita. Bagaimana tidak, tidak ada lagi filosofi kemanusiaan yang adil dan beradab dijunjung tinggi eksistensinya oleh instansi-instansi pemerintahan. Walhasil, keadaan ini memicu krisis kepercayaan masyarakat terhadap integritas pejabat dan kredibilitas pemerintah kita.
Berpangkal tolak dari sedikit uraian diatas, maka sekarang dapat kita pahami bersama bahwa sebenarnya kehidupan negara kita sedang dirudung berbagai krisis. Krisis-krisis tersebut meliputi krisis kemanusiaan, krisis keadilan, dan krisis kepercayaan. Memang, diluar konteks krisis ini, masih terdapat banyak krisis lainnya, akan tetapi ketiga krisis diatas telah menggerogoti negara kita dari dalam sejak dulu. Tindakan pemberantasan kiranya memang sangat dibutuhkan dalam keadaan yang mendesak seperti ini, akan tetapi sangat baik apabila dapat mensinergikan antara tindakan pemberantasan dengan tindakan pencegahan.
Kiranya, tindakan pencegahan dan pemberantasan untuk menanggulangi ketiga krisis yang saat ini sedang terjadi adalah dengan metode yang sesuai konsep negara kita, yaitu Demokrasi. Sebelumnya, sedikit akan diingat kembali bahwa didalam negara demokrasi, pemegang kedaulatan tertinggi didalam negaranya adalah rakyat. Rakyat disini adalah rakyat dalam sekrup yang luas yaitu, rumpun, bangsa dan natie. Meskipun sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem pelimpahan kekuasaan dari rakyat terhadap orang-orang tertentu, yang dianggap kapabel, akan tetapi apabila pemikiran didalam suatu negara tersebut tidak mencerminkan pemikiran rakyat, maka secara eksplisit dapat dikatakan bahwa pemerintahan yang dijalankan telah menyimpang dari makna esensi demokrasi, bahkan dapat diasumsikan bahwa pemerintah secara diam-diam telah melaksanakan konsep monarki yang berpotensi menciptakan kemerosotan, yaitu tirani atau diktator hingga meluas kepada terjadinya pemerintahan yang aristokratis.
Demokrasi sendiri, menurut studi politik secara ilmu dibagi menjadi 2, yaitu demokrasi normatif dan demokrasi empirik. Demokrasi normatif adalah demokrasi sebagai bentuk gagasan atau ideologi yang berada di alam filsafat, sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi pada implementasinya, yaitu demokrasi praktik dilapangan nyatanya. Sampai saat ini, untuk menyamakan atau menyelaraskan antara kedua demokrasi tersebut belum dapat dikatakan sempurna, karena penerapannya pada lapangan praktis terbukti mengalami berbagai kendala. Meskipun demikian, demi terselenggaranya wujud esensi negara beserta dengan hirarki fungsionalnya, maka perjuangan dan usaha harus tetap dimajukan dengan mengedepankan sisi-sisi keluhuran dan semangat nasionalisme yang sama.
Menyinggung mengenai sistem politik negara kita, terlebih dahulu harus diketahui tipe demokrasi seperti apa yang diterapkan. Sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi konstitusional. Hal ini dikarenakan negara Indonesia adalah negara yang memiliki konstitusi. Konstitusi sendiri berarti pembentukan suatu negara atau penyusunan dan pernyataan suatu negara. Konstitusi negara Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD). Sebagai pernyataan kemerdekaan, pengaturan dasar lembaga tinggi negara, perlindungan hak asasi manusia, penjelmaan dari Pancasila dan lain-lainnya, UUD 1945 merupakan peraturan terdasar dari suatu negara. Adalah sistem politik dalam pemerintahan yang merupakan suatu hal yang secara langsung juga dibentuk oleh UUD 1945.
Sebenarnya, apabila memang kita menginginkan perubahan, maka hendaklah memahami dahulu duduk persoalan yang sedang terjadi. Dalam hal krisis ini, berarti bahwa kehidupan antar masyarakat dan bernegara tidak lagi sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Efek yang ditimbulkan oleh kondisi ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para pelaku pemerintahan. Menurut pemikiran penulis, dengan didasarkan kepada standarisasi mutu dan kualitas sebuah negara yang dianggap baik, sangat bijaksana dapat kiranya kita kembali mengayomi perilaku pemerintahan negara kita demi meraih kembali keadilan yang berkeseimbangan secara berkesinambungan dengan langkah-langkah yang arif dan bijaksana pula.
Untuk membentuk proper solution terhadap kekisruhan yang terjadi dewasa ini, maka dalam setiap persoalan kemasyarakatan harus selalu memprioritaskan hati nurani dan cara-cara yang sangat manusiawi, akan tetapi tetap dalam konteksi profesionalitas dan tegas serta sesuai dengan porsi. Salah satu sketsa contoh dalam hal ini adalah pihak kepolisian sebagai aparatur penegak keadilan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, yang juga dikenal sebagai penyelidik dan penyidik terhadap tindak pidana. Didalam kehidupan sehari-hari, tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sangat menuai kontroversi dari berbagai lapisan masyarakat. Salah satu keprihatinan dari kepolisian menyangkut kewenangannya menyidik seseorang yang diduga melakukan tindak pidana kerap terjadi pada saat implementasi interogasi terhadap tersangka. Pada saat interogasi, penyidik yang berwenang seringkali menggunakan cara-cara yang kasar dan tidak mengindahkan rasa kemanusiaan, tidak beradab, padahal peraturan hukum di Indonesia mengatakan dengan jelas bahwa kedudukan seseorang sebagai tersangka atau terdakwa dianggap bahwa orang tersebut belum bersalah. Akan tetapi, meski sudah ditegaskan oleh hukum positif, namun tindakan penyalahgunaan kekuasaan ini masih terus terjadi. Yang sangat menyedihkan lagi, ternyata tindakan diktator seperti ini bukan hanya terjadi pada satu instansi saja, tapi juga pada instansi-instansi lainnya. Mengapa bisa  demikian? Inilah yang dinamakan “kemerosotan moral”.
Kemerosotan moral yang dialami oleh penegak hukum di Indonesia dirasa sudah sangat parah. Akibat dari hal ini telah memicu berbagai kesenggangan sosial dalam kehidupan kemanusiaan negara Indonesia. Rakyat sipil lah yang selalu menjadi korban dari praktek kemerosotan moral dari para aparatur penegak hukum ini. Sehingga menyebabkan destruktisasi kemanusiaan yang ekstentif. Kalau hal ini terus menerus dibiarkan, maka akan menyebabkan abses yang dikemudian hari akan makin sulit untuk diatasi. Tentunya ini bukan hal yang dikehendaki oleh suatu negara. Untuk itu, fundamentalisme yang harus dilakukan adalah dengan cara-cara sebagai berikut :
1.        bagi setiap instansi penegak hukum, dalam menangani dan mengontrol kriminal harus senantiasa berlandaskan pada prinsip efektif, cepat, transparansi, manusiawi dan tanpa pandang bulu;
2.             untuk itu diperlukan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dalam bidangnya yang berkaitan dengan fungsi penegakan hukum yang menjadi kewenangannya;
3.       menempatkan lembaga dan personel penegakan hukum benar-benar berada ditengah masyarakat. Jika keberadaan mereka terpencil diluar kehidupan masyarakat, maka akan sulit untuk dikontrol.
Apabila tidak ada atau kurang baik hubungan harmonisasi antara masyarakat dengan pihak penegak hukum, hal itu sudah pasti merupakan malapetaka terhadap citra lembaga penegak hukum di Indonesia. Oleh karena itu, harus senantiasa dibina dan diupayakan secara kontinyu agar hubungan harmonisasi tersebut terwujud dan tetap terjaga.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kondisi sistem hukum di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Kekacauan yang terjadi didalamnya adalah kekacauan yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Segala bentuk korupsi dan kolusi busuk terjadi didalamnya. Mafia peradilan salah satunya. Mereka adalah sekumpulan orang-orang yang menyalahgunakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah untuk seharusnya menegakkan keadilan. Akan tetapi, perilaku mereka sudah banyak meresahkan masyarakat. Hal ini sangat relevan dengan poin pertama tentang langkah fundamental mengatasi kemerosotan moral penegak hukum. Tadi dikatakan bahwa dalam menangani dan mengontrol kriminal harus berlandaskan kepada prinsip efektif, cepat, terbuka, manusiawi dan tanpa pandang bulu. Solusi ini sangat esensiil untuk mengobati kredibilitas lembaga penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi, untuk langkah pengobatan ini hanya bisa dilakukan sendiri oleh pribadi para penegak hukum masing-masing. Kalau tidak dilakukan oleh pribadi masing-masing, maka tidak akan ada perubahan terhadap sistem keadilan di Indonesia. Karena hanya kesadaran hukum dari pribadi setiap individu yang dapat mewujudkan keadilan sosial secara efektif. Yang kedua adalah perilaku profesionalisme dari aparat penegak hukum. Substansi profesional ini berarti bahwa selaku aparatur hukum, maka segala tindakan yang dilakukan harus sungguh-sungguh berdasar kepada hukum positif. Apabila memang ternyata yang bersangkutan merasa bahwa pedoman hukum saja tidak cukup baginya, maka berpeganganlah kepada norma-norma yang ada didalam kehidupan. Tidak melebih-lebihkan tindakan seperti yang seharusnya atau yang menjadi kewenangannya merupakan langkah paling tepat demi menciptakan harmonisasi kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Yang ketiga adalah menempatkan lembaga atau anggota penegak hukum ditengah atau dekat dengan masyarakat agar dapat dilakukan tindakan pengendalian dari masyarakat. Sudah tentu dengan diposisikan dekat dengan masyarakat, maka segala aktifitas mereka dapat dipantau dengan jelas oleh masyarakat luas. Pada akhirnya masyarakatlah yang berwenang untuk mengevaluasi tindakan lembaga pada negara yang menganut sistem demokrasi yang meletakkan kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat.
Memang tidak bisa melakukan hal-hal diatas secara instan. Semua tindakan diatas memerlukan prosesi yang memakan waktu, karena relevansinya langsung menyentuh mental, moral dan akhlak daripada setiap individu penegak hukumnya. Untuk itu, dibutuhkan kontrol dari pihak masyarakat dan juga lembaga-lembaga parlemen agar tercipta fungsi pengawasan penuh dari rakyat.
Selain langkah diatas, masih terdapat varia langkah yang juga dapat dinilai tepat untuk mengembalikan kondisi kemanusiaan sesuai dengan konsep pancasila dan UUD 1945. apabila dirumuskan, barangkali langkah tersebut adalah seperti berikut :
1.     mengindahkan dengan mematuhi dan mentaati norma kehidupan yang terdiri dari norma kesusilaan, kesopanan dan agama dalam kemasyarakatan sosial;
2.           menghidupkan kembali semangat kasih terhadap pancasila dengan cara mengaplikasikan tatanan pancasila didalam kehidupan bermasyarakat dalam konteks sosial;
3.               mengimplementasikan kembali semangat bernegara melalui supremasi konstitusi negara;
4.      mematuhi dan mentaati eksistensi norma hukum sebagai sumber penegak norma kehidupan lainnya.
Secara umum, kiranya terhadap 4 hal diatas, penulis beranggapan langkah yang tepat untuk mengembalikan kondisi kemanusiaan yang saat ini terpuruk. Pada poin pertama dikatakan, “mengindahkan dengan mematuhi dan mentaati norma kehidupan yang terdiri dari norma kesusilaan, kesopanan dan agama dalam kemasyarakatan sosial”. Hal ini dimaksudkan apabila masyarakat sudah mentaati peraturan paling dasar yang bersifat tidak tertulis seperti norma kehidupan ini, maka secara langsung telah tumbuh bibit kebaikan didalam dirinya dan menyadari hakekat hidup bersosial. Dan, untuk langkah kontinyu, yaitu melaksanakan langkah-langkah selanjutnya, perjalanan yang ditempuh akan lebih mulus.
Yang kedua adalah, “menghidupkan kembali semangat kasih terhadap pancasila dengan cara mengaplikasikan tatanan pancasila didalam kehidupan bermasyarakat dalam konteks sosial”. Sudah tentu bahwa fungsi pancasila adalah untuk menyatukan kehidupan ragam masyarakat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam satu semangat, yaitu semangat pancasila. Semua sila yang terdapat didalam pancasila merupakan aturan dasar untuk menyatukan ragam perbedaan yang ada pada setiap individu yang sama dalam sebuah negara. Dengan mengaplikasikan semua tatanan pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, maka diyakini dapat membawa pola kehidupan sosial yang menyamaratakan hak dan kewajiban setiap individu, sehingga tingkat positif kemanusiaan akan kembali terbangun, dan lama kelamaan akan menjadi sebuah kebiasaan bagi pelaku implementasinya. Yang ketiga adalah “mengimplementasikan kembali semangat bernegara melalui supremasi konstitusi negara”. Tentunya kedudukan konstitusi berada pada tingkat tertinggi pada suatu negara. Mengingat konstitusi merupakan sebuah dasar peraturan tertulis pertama didalam suatu negara yang wajib untuk dijunjung tinggi, dijalankan, dipatuhi dan ditaati secara keseluruhannya. Penyatuan semangat yang terdapat didalam konstitusi Indonesia adalah penyatuan semangat yang bersifat nasionalisme yang berupa penyamaan sebuah penderitaan lampau dari para pahlawan yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia, dan lain sebagainya. Rakyat yang mendiami suatu negara memiliki pecahan lain dalam penyebutan dan penyempitan maknanya. Adalah rumpun, bangsa dan natie yang merupakan fragmen dari kata rakyat ini. Pengertian rumpun adalah masyarakat didalam suatu negara yang merasakan adanya kesamaan antara satu dengan lainnya berdasarkan ciri-ciri fisik, misalkan bentuk muka, bentuk hidung, warna kulit, tinggi badan, dll. Berdasar kepada ciri-ciri tersebut, maka akan mendorong semangat setiap anggota rumpun yang sebelumnya tertidur untuk mencapai suatu kebaikan bagi rumpun mereka. Sedangkan pengertian bangsa adalah kumpulan orang-orang/masyarakat yang merasakan kesamaan antar satu individu dengan yang lainnya berdasarkan bahasa, adat istiadat, kebudayaan, agama, dan sebagainya. Yang terakhir adalah natie, yaitu masyarakat yang merasa terdapat kesamaan diantara mereka berdasarkan kesatuan politik, kesadaran nasional dan ide nasional berdasarkan sejarah lampau yang sama. Yang terakhir atau keempat adalah ”mematuhi dan mentaati eksistensi norma hukum sebagai sumber penegak norma kehidupan lainnya”. Jelas sekali bahwa kehadiran norma hukum bertujuan untuk menjaga dan menegakkan ketiga norma kehidupan lainnya. Apabila pada norma seperti kesusilaan, kesopanan dan agama, sanksi yang didapat atas pelanggarannya tidak serta merta dapat membuat jera dan tidak serta merta dapat dirasakan oleh pelakunya, akan tetapi, pada norma hukum, sanksi yang diberikan atas pelanggaran terhadap tatanan yang ada didalamnya adalah hukuman tegas yang berupa hukuman pengekangan fisik yang merampas kemerdekaan bergerak si pelaku. Adanya norma hukum sebenarnya untuk menjamin kepastian hukum kepada seluruh masyarakat dalam suatu negara. Dengan dipublikasikannya norma hukum yang berupa peraturan tertulis dari pemerintah, maka bertujuan untuk membatasi perilaku masyarakat agar jangan sampai berbuat suatu hal yang bertentangan dengan apa yang telah dilukiskan oleh peraturan hukum, dan, apabila ternyata perbuatan yang bertentangan tersebut dilakukan, maka akan dikenakan sanksi kepada pelaku agar dapat membuat efek jera untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya dikemudian hari. Tentulah dengan adanya pembatasan terhadap suatu perbuatan-perbuatan yang akan dilakukan oleh calon pelaku, dan dengan sanksi yang membuat jera si pelaku, maka akan menciptakan suatu kehidupan yang aman, tertib dan terkendali sesuai dengan keinginan masyarakat dan negara.

B.     SISTEMATIK YANG HARUS DIBANGUN TERKAIT UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL DI NEGARA INDONESIA
Keadilan adalah unsur utama yang diperlukan bagi keseimbangan antara pemerintah dan rakyatnya. Tak hanya itu, keadilan juga merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara Indonesia adalah negara yang berlandas kepada ideologi hukum. Pernyataan tersebut terdapat pada pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai rechtstaat, maka fungsi hukum adalah untuk menjaga keamanan, ketertiban dan melindungi seluruh rakyatnya, baik dari pengaruh dalam maupun dari pengaruh luar. Sebagai rechtstaat, tentunya harus senantiasa tunduk kepada the rule of law.
Secara logika, tujuan diadakannya hukum didalam suatu negara adalah untuk mengatur tata kehidupan rakyat dalam proses kenegaraannya. Demi kelangsungan sebuah negara, maka supremasi hukum harus selalu ditegakkan. Disamping itu, legitimasi hukum juga tak kalah pentingnya dalam suatu negara. Legitimasi yang dimaksud adalah sebuah keabsahan dari seluruh tindakan-tindakan hukum yang berpangkal pada kewajaran dan kepatutan bagi masyarakat untuk menerimanya sebagai suatu hal yang memang tidak dianggap bertentangan dengan sisi-sisi kemanusiaan. Hukum akan diterima oleh rakyat apabila peraturan didalamnya tidak bertentangan dengan cerminan norma-norma didalam kehidupan. Sudah tentu begitu, karena selain untuk mengatur kehidupan rakyat, kehadiran hukum juga bertujuan untuk menegakkan keseluruhan norma-norma kehidupan manusia.
Diatas telah disebutkan bahwa kehadiran hukum adalah untuk menjaga keamanan, ketertiban dan melindungi kelangsungan hidup rakyat didalam suatu negara. Hal ini berarti bahwa adanya hukum adalah untuk memberikan ketegakan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Salah satu unsur normatif yang harus diresapi oleh hukum adalah keadilan. Dikatakan demikian karena ditilik dari perspektif kehidupan kemasyarakatannya, didalamnya beragam perbedaan antara individu yang memang sudah mutlak ada keberadaannya. Keragaman tersebut meliputi berbagai pendapat, kepentingan dan tingkah laku. Dan, pada dasarnya, keragaman tersebut harus selalu dihormati kelangsungannya. Akan tetapi, meskipun harus dihormati, tindakan perampasan tertentu terhadap keragaman ini dilakukan dengan cara pengekangan atau pelarangan demi memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap setiap individu.
Di negara Indonesia yang mengadopsi doktrin trias politea dalam sistem pemerintahan parlemennya, maka jelas memiliki tiga badan, yaitu badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Badan legislatif yang berfungsi sebagai legislator, atau berperan sebagai pembuat undang-undang atau peraturan atau hukum, beserta dengan pelaksanaan publikasi atau sosialisasinya. Pihak eksekutif adalah pihak yang bertugas untuk menjalankan substansi dari peraturan yang dibuat oleh legislator. Badan yudikatif adalah badan yang berfungsi mengurusi keseluruhan hal dalam bidang penafsiran dan penegakan hukum. Meskipun badan-badan ini terpisah kekuasaannya, tetapi didalam masing-masingnya tetap memiliki wewenang dan tugas yang bersentuhan langsung dengan hukum. Akan tetapi, meskipun begitu, badan yang dikonsentrasikan otoritasnya dalam bidang yang terkait dengan penegakan hukum tetap berada pada badan yudikatif.
Lebih lanjut, upaya efektif yang dapat ditempuh terkait dengan upaya mewujudkan keadilan sosial adalah dengan membuang emosi, egoisasi dan kesombongan dari pihak aparat penegak hukum. Adapun aparatur dan lembaga penegak hukum yang di akui di negara Indonesia meliputi :
1.      Legislator
2.      Kepolisian
3.      Pengadilan
4.      Pengacara
5.      Lembaga Pemasyarakatan
Demi untuk mengupayakan perwujudan keadilan sosial yang merata, maka ke-enam aparatur di atas diwajibkan untuk merubah pola hukum yang sampai saat ini masih dipertahankan. Karena pola yang terjadi pada lapangan praktisnya dirasa identik dengan praktik kekerasan, penindasan harkat dan martabat kemanusiaan dan penyalahgunaan wewenang. Untuk itu, butuh komitmen tingkat tinggi bagi seluruh jajaran aparatur negara sebelum melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pribadi penegak hukum. Adapun langkah yang dapat ditempuh sesuai dengan evaluasi yang didapat melalui hemat penulis dengan relevansi terhadap fungsi masing-masing, maka tertata secara sistematik sebagai berikut :
1.      Esensi pola penciptaan hukum pihak legislator
Pihak legislasi sebagai pembuat undang-undang dirasa memegang kendali prioritas dari kelangsungan hukum yang baik pada suatu negara. Oleh karena kualitas dan mutu dari suatu produk undang-undang yang dihasilkan oleh perumusan pihak legislasi merupakan hal yang berkaitan langsung dengan rasa kemanusiaan, maka substansial didalamnya harus mencerminkan pengaturan yang sesuai dengan pencerminan kehidupan manusia. Konteks manusia dalam hal ini adalah rakyat yang mendiami sebuah negara. Adapun pencerminan tersebut harus didasarkan kepada norma-norma yang eksis didalam kehidupan manusia dan harus dapat dirasa efektif, efisien dan non grup importansi. Disebutkan harus efektif karena setiap perumusan dari produk undang-undang diharapkan kapabel untuk menegakkan keadilan dalam sekrup perspektif masyarakat. Apabila tidak efektif, maka akan timbul reaksi dari negatif dari masyarakat yang ditujukan terhadap kemampuan pihak legislator yang tidak ahli dan banyak kecacatan dalam merumuskan suatu peraturan hukum. Yang selanjutnya adalah senantiasa harus efisien dalam segala hal, baik waktu, cost dan hal-hal lainnya yang berkaitan langsung dengan ketepatan dan kecepatan tindakan dari pihak penegak hukum yang ada dibawah pihak legislator. Apabila tidak sesuai dengan asas efisiensi, maka pihak legislator akan dikritisi oleh masyarakat karena proses hukum terhadap seseorang yang mereka buat berjalan sangat lamban. Terakhir adalah non grup importansi. Yang dimaksud dengan non grup importansi adalah setiap butir pasal yang dirumuskan oleh pihak legislator harus bersifat netral dengan tidak mendahulukan dan mementingkan kepentingan golongan-golongan tertentu. Jadi, setiap peraturan undang-undang yang dikeluarkan oleh pihak legislator senantiasa harus mementingkan ketertiban dan kesejahteraan umum serta mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari pihak pemerintahan dalam berkehidupan dinegaranya sendiri.
2.      Esensi pola penegakan hukum pihak Kepolisian
Mengenai pola penegakan hukum dari pihak Kepolisian, sebenarnya sudah disinggung pada uraian sebelumnya. Jadi, disini hanya akan dibahas sedikit mengenai hal-hal yang perlu ditambahkan agar dalam penegakan hukumnya, pihak Kepolisian senantiasa akan direstui dan dipandang positif oleh masyarakat.
Selain klarifikasi terhadap hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat 1 hal lagi yang dirasakan urgensi bagi pihak Kepolisian yaitu “harus lebih menggiatkan kegiatan penegakan hukum internal, yaitu didalam kesatuannya sendiri, terhadap para anggotanya”. Apabila pada saat penegakan hukum tersebut kedapatan anggotanya melakukan pelanggaran hukum, maka pejabat atasan mereka harus menindak tegas pelaku pelanggaran tersebut dengan tatacara yang lazimnya dilakukan terhadap masyarakat sipil. Dengan adanya tindakan tegas dan proses yang sama dengan masyarakat sipil, maka akan menghasilkan kacamata profesionalisme dari masyarakat terhadap pihak Kepolisian. Selain itu, masyarakat akan memahami bahwa memang benar adanya fakta bahwa kedudukan setiap orang didepan hukum adalah sama, dan tidak ada orang yang kebal terhadap hukum. Dengan telah dilaksanakannya hal seperti ini, maka akan tercipta kesan nyata bahwa pihak Kepolisian memang sungguh memiliki citra yang baik.
3.      Esensi pola penegakan hukum pihak Jaksa Penuntut Umum dan Pengadilan
Setelah proses penanganan oleh pihak kepolisian, maka sesuai hukum acara pidana, perkara tersebut harus dinaikkan tingkatnya kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dilakukan penuntutan ke Pengadilan. Di dalam Pengadilan inilah terdakwa akan diadili dan dibuktikan kesalahannya. Hal terpenting dalam setiap proses penegakan hukum, baik pada tingkat penyidikan sampai kepada pembuktian kesalahan terdakwa pada pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib dipandang tidak bersalah. Apabila vonis telah dijatuhkan oleh hakim, barulah, dari vonis tersebut, terdakwa dapat dikatakan bersalah atau tidak.
Asas dalam peradilan pidana Indonesia membuka kesempatan kepada masyarakat untuk menyaksikan jalannya proses pembuktian terdakwa dipersidangan. Dengan adanya kesempatan ini, maka masyarakat dapat berperan serta dalam menegakkan keadilan internal badan pengadilan tersebut. Namun, meskipun masyarakat dapat menyaksikan jalannya proses peradilan tersebut, akan tetapi vonis yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat, meskipun didalam vonis tersebut, nyata-nyata masyarakat mengetahui bahwa hakim salah menjatuhkan vonis. Lebih jelasnya, yang salah dibebaskan, sedangkan yang benar disalahkan, barangkali juga termasuk pelaku kejahatan yang benar-benar dapat merugikan perekonomian negara dikenakan vonis yang ringan, sedangkan pelaku kejahatan yang hanya merugikan beberapa pihak dikenakan vonis yang sangat berat. Adalah mafia peradilan yang ada dibalik semua vonis terbalik ini. Praktek mafia peradilan adalah salah satu praktek yang sudah tercium oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, masyarakat menganggap bahwa citra pengadilan, dimanapun berada sudah tidak harum lagi seperti dulu.
Demi upaya mewujudkan keadilan sosial, maka pihak peradilan Indonesia diwajibkan untuk melenyapkan tradisi mafia peradilan atau praktek busuk peradilan, apapun bentuknya. Senyatanya pihak pengadilan harus berpedoman kepada KUHAP sebagai proses beracaranya. Peningkatan keprofesionalan diwajibkan atas lembaga peradilan Indonesia. Sebenarnya, penulis memiliki cara pribadi yang penulis dapatkan sendiri melalui spekulasi berkenaan dengan revitalisasi proses penegakan hukum ditingkat pengadilan ini. Langkah tersebut adalah dengan cara menempatkan kedudukan masyarakat melalui wadah organisasi untuk berperan serta mengawasi dan mengklarifikasi proses pembuktian terdakwa pada proses pengadilan. Apabila terdapat kejanggalan atau ketidaktepatan peraturan dan atau vonis yang tidak tepat sasaran seperti membebaskan pelaku kejahatan yang nyata memang telah melakukan kejahatan, maka masyarakat wajib untuk melakukan klarifikasi kepada suatu badan yang pada kemudian hari harus dibentuk oleh pemerintah pada setiap provinsi. Kemudian, masyarakat akan bersinergi dengan pihak pemerintahan tersebut untuk kembali menelaah kasus tersebut. Apabila setelah dianalisa bahwa pelaku memang dikenakan vonis yang tidak tepat, maka pihak tersebut berwenang meneruskan kembali perkara tersebut kepada Pengadilan Tinggi. Proses ini memang sama halnya dengan proses upaya hukum banding, akan tetapi, yang menjadi titik konsen disini adalah bagaimanakah caranya agar kita dapat memposisikan derajat upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga pemerintahan ini tidak bertentangan dengan asas hukum pidana yang menyebutkan bahwa bagi terdakwa yang divonis bebas oleh hakim, maka tidak lagi dapat diajukan upaya hukum banding oleh pihak Jaksa Penuntut Umum. Dan, lazimnya, inilah yang dinamakan dengan asas kepastian hukum bagi terdakwa. Akan tetapi, untuk kebenaran dan menegakkan keadilan dan demi ketertiban, penghilang kegelisahan masyarakat umum, maka bijak kiranya apabila peran serta dalam hal ini seperti yang telah dikemukakan diatas, yaitu diaktifkan.
4.      Esensi Penegakan Hukum Pihak Advokad
Secara singkat, pengertian advokad adalah orang atau pihak yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat. Jasa hukum tersebut merupakan jasa hukum yang berbentuk bantuan hukum dari seorang pengacara terhadap orang/masyarakat yang membutuhkan, yang kurang/tidak mengerti tentang seluk beluk hukum positif. Bantuan hukum tersebut dapat meliputi tentang tatacara proses penegakan hukum mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan hingga persidangan dan lain-lainnya yang masih terdapat relevansi terhadap proses hukum.
Tugas pokok dari seorang yang berprofesi sebagai pengacara adalah untuk membantu seseorang yang sedang tersangkut kedalam persoalan hukum. Tugas tersebut dapat mencakup memberikan pemahaman hukum atas kesulitan yang dialami oleh kliennya terhadap hukum, melindungi kliennya atas penyimpangan prosedural hukum yang mungkin akan dilakukan oleh individu dari hirarki instansi penegakan hukum, dan membantu membela kliennya dipengadilan berdasarkan hati nurani dan keadilan.
Kehadiran profesi dalam bidang hukum seperti pengacara, hingga saat ini dipandang sangat membantu masyarakat yang terlibat kedalam persoalan hukum. Akan tetapi, yang menjadi kendala bagi masyarakat, bila ingin meminta bantuan hukum dari pengacara, mereka kerap sekali dihadapkan dengan persoalan biaya yang tinggi. Memang benar, tidak dapat terbantahkan lagi bahwa untuk menggunakan jasa bantuan hukum, maka seseorang harus membayar upah yang tidak sedikit terhadap pengacara. Sebenarnya hal ini tidak akan menjadi persoalan yang besar apabila seorang yang akan menggunakan jasa hukum tersebut adalah orang yang tergolong memiliki harta benda yang cukup, akan tetapi, bagaimana nasib dari orang-orang miskin, yang sedang tersangkut oleh permasalahan hukum tersebut ingin menggunakan bantuan hukum dari jasa advokad? Tentunya ini merupakan hal yang tidak dapat dijangkau sama sekali oleh mereka yang tidak memiliki harta benda yang cukup untuk membayar pengacara tersebut.
Untungnya, didalam KUHAP telah menggariskan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu/miskin. Namun, bantuan hukum yang dimaksud hanyalah bagi orang-orang yang melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara selama lima tahun. Jadi, apabila seorang yang tidak mampu melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya dibawah lima tahun, maka ia tidak wajib untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut. Bantuan hukum secara gratis ini diberikan langsung oleh pemerintah kepada tersangka dan terdakwa. Akan tetapi, yang menjadi persoalan lain disini adalah, apakah pengacara yang diperintahkan oleh negara untuk membantu tersangka atau terdakwa secara  cuma-cuma tersebut dapat bekerja dengan maksimal? Menurut hemat penulis disini, jawabannya adalah “tidak!” dikatakan demikian karena, setiap pengacara yang diperintahkan oleh negara untuk membantu seseorang secara gratis tidak dapat bertindak secara totalitas dalam rangka membela kliennya. Bagaimana tidak, sebab setelah diperintahkan oleh negara untuk membantu tersangka atau terdakwa, maka pengacara yang bersangkutan wajib untuk menyetujui permintaan pemerintah, sedangkan biaya atau upah bagi pengacara tersebut tidak sebanding apa yang ia perbantukan terhadap pemerintah berkenaan dengan tugas membela tersangka atau terdakwa tadi. Berdasarkan keadaan keharusan yang bersifat wajib ini, maka barangkali dari sekian banyak pengacara akan merasa tidak ikhlas dalam menjalankan tugas yang diperintahkan oleh pemerintah, dan walhasil, si tersangka atau terdakwa pun akan mendapatkan jasa bantuan hukum yang setengah hati, bahkan lebih buruk dari pengacara yang bersangkutan.
Untuk menangani permasalahan ini, ada baiknya apabila pemerintah secara khusus membentuk lembaga advokasi bagi masyarakat yang tidak mampu dengan segala biaya ditanggung oleh pemerintah. Jadi, apabila seorang yang tidak mampu yang sedang tersangkut persoalan hukum pidana mendapatkan jasa hukum dengan tingkat keseriusan yang memadai dari lembaga tersebut. Serta, untuk menetapkan atau membuat permanen pihak didalam lembaga tersebut untuk lebih bertanggung jawab terhadap profesinya berdasarkan hati nurani dan keseimbangan antara pekerjaan dan kebutuhan yang diberikan oleh pemerintah.
Selain daripada persoalan diatas, masih terdapat persoalan lainnya yang berkaitan dengan esensi penegakan hukum dalam hal advokat ini. Hal tersebut adalah persoalan diri pribadi atau karakter dari pengacara itu sendiri. Yang dimaksud adalah mengenai sifat dan sikap pengacara tersebut dalam menjalankan profesinya sebagai salah satu aparat penegak hukum, yaitu melaksanakan tugas dengan baik dan tetap teguh kebenaran. Dengan begitu, maka akan tercapai esensi keadilan sejati yang selama ini memang ditunggu oleh seluruh masyarakat. Dalam hal ini, guna memperjelas aktifitas yang kerap menyimpang dari keadilan hakekat ini, akan dikemukakan dalam satu rangkuman, yaitu : bahwa tugas pokok dari seorang yang memberikan jasa hukum adalah untuk membantu secara keseluruhan persoalan hukum yang sedang dialami oleh kliennya. Akan tetapi bantuan yang diberikan tersebut harus berdasar kepada keadilan sejati dengan muatan kebenaran hakekat, atau dengan kata lain bahwa dalam melaksanakan tugasnya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan harus berdasarkan kepada segala ketentuan adovokasi, yaitu tidak melakukan praktek yang berkaitan dengan kriminalitas dalam segala tingkatan prosesi hukum yang sedang berjalan, serta juga memahami bukan sekedar mengetahui bahwa tugas sesungguhnya dari seorang pengacara adalah untuk :
1.      Memberikan bantuan hukum mengenai pemahaman hukum yang benar kepada tersangka atau terdakwa yang menggunakan jasa hukumnya;
2.  mendampingi dan melindungi tersangka dalam berbagai tingkat prosesi hukum untuk melindungi tersangka dari aktifitas yang menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku;
3.      untuk membela dan melindungi terdakwa dari hal-hal yang tidak sesuai atau bertentangan dengan dengan prosedural hukum positif pada saat prosesi persidangan berlangsung.
5.      Esensi pola penegakan hukum pihak Lembaga Pemasyarakatan
Menurut hemat penulis, mengenai pola penegakan hukum pihak lembaga pemasyarakatan ini sangat perlu untuk direvitalisasikan fungsinya, yaitu sepanjang hal yang kini berkembang dimata masyarakat bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah tempat yang dipergunakan untuk menyiksa fisik terpidana. Barangkali dari kalimat “tempat menyiksa fisik terpidana”, membuat asumsi bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah tempat yang mengerikan. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan tempat yang menyerupai hotel berbintang bagi golongan orang kaya.
Kalau demikian adanya, lantas dimanakah kebenaran jargon dari lembaga pemasyarakatan yang digunakan untuk mengayomi terpidana agar dapat kembali kedalam masyarakat luas dengan sifat dan sikap yang lebih baik dari sebelumnya? Tidak lagi ada! Dewasa ini, pengetahuan masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan sudah sangat identik dengan kekerasan dan ketidakadilan.
Meskipun tujuan lembaga pemasyarakatan adalah untuk merampas kemerdekaan terpidana, akan tetapi sesuai dengan konsep fungsionalisasinya, kehadiran lembaga pemasyarakatan adalah untuk memberikan pengayoman kepada terpidana. Berdasarkan hal tersebut, maka sudah seharusnya lembaga pemasyarakatan yang merupakan tempat perbaikan diri bagi terpidana ini mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Untuk memulihkan pandangan masyarakat terhadap kemerosotan tujuan dan fungsi dari lembaga pemasyarakatan ini, menurut penulis, ada bijaknya bagi pemerintah untuk mendirikan suatu lembaga khusus yang independen untuk mengawasi segala aktifitas dari lembaga pemasyarakatan. Fungsi lembaga yang dimaksud adalah sebagai tim cross-check atas segala tindak tanduk yang dilaksanakan oleh lembaga pemasyarakatan. Untuk persoalan tenaga manusia yang akan ditempatkan pada lembaga tersebut, penulis sangat menyarankan diambil dari kalangan marhaenisme yang memiliki rasa kepedulian yang besar terhadap sesamanya, atau pun bila sulit untuk menemukan kalangan tersebut, pemerintah dapat menempatkan kalangan militer sebagai gantinya, atau, bila dipandang perlu, pemerintah dapat menggabungkan antara kedua unsur kalangan tersebut untuk ditempatkan pada lembaga tersebut.
Diatas, penulis menyarankan memilih kalangan militer sebagai pengawas dari lembaga pemasyarakatan, karena mengingat latar belakang yang dimiliki oleh kalangan militer merupakan karakter yang tepat, sebab kalangan militer memiliki tingkat disiplin yang tinggi, berwibawa, dan tegas. Akan tetapi, meskipun begitu, penulis merasa lebih tepat apabila lembaga itu di isi dengan gabungan antara kalangan marhaenisme dan militer agar dapat bersinergi hingga terjadi penyatuan keseimbangan dari pribadi sosial dan pribadi yang memiliki sifat melindungi warga negaranya atas serangan yang berasal dari luar, namun dalam hal ini, dialihkan fungsinya, yaitu untuk melindungi warga negaranya atas serangan dari dalam, dari bangsanya sendiri.
Dengan melaksanakan beberapa hal diatas, barangkali dapat membantu untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Memang tidak mudah untuk dapat mewujudkan keadilan sosial tersebut, didalam perjalanannya pasti akan selalu mengalami hambatan kecil atau besar, akan tetapi sebagai Rakyat Indonesia, sudah seharusnya kita kembali menyamakan persepsi dan berusaha bersama untuk mengembalikan kondisi kemanusiaan dan mengupayakan keadilan sosial dengan kesamaan dari rasa nasionalisme yang kita miliki agar dapat memulihkan ketidak-stabilan dari negara Indonesia.

BAB IV
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Dengan berdasar kepada ulasan yang telah disajikan sebelumnya, maka didapatkan kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1.      Bahwa salah satu penyebab terpuruknya kondisi kemanusiaan adalah keadilan yang tidak berdasarkan kepada hati nurani dan ketertiban umum yang tercermin dan mencakup kepada tatanan nilai moral Pancasila dan konstitusi negara, serta azas keseimbangan bagi seluruh lapisan masyarakat, maka untuk mengembalikan kondisi kemanusiaan sesuai dengan konsep Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dengan mereboisasikan kebiasaan dan sifat dengan mengedepankan semangat yang terdapat didalam tiap butir-butir pancasila, serta mengedepankan hati nurani sebagai landasan superioritas penunjang bagi seluruh rakyat, khususnya bagi para petinggi dalam menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh negara;
2.      sistematik yang harus dibangun terkait dengan upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah dengan menempatkan para pihak utama yang berperan langsung dalam bidang hukum sesuai pengaplikasiannya, yang mana harus menjalankan tugas dengan memaksimalkan kapasitas dan kualitasnya, dan harus berdasar kepada semangat penyatuan tujuan yang sama, yaitu dalam melakukan tugas serta wewenang senantiasa harus bersandar kepada ideologi negara, norma-norma, dan konstitusi negara.

B.     SARAN
Adapun saran yang akan diberikan adalah sebagai berikut :

1.   dibutuhkan agresifitas peranan pemerintah dalam mensosialisasikan pemahaman hukum bagi seluruh lapisan masyarakat melalui berbagai cara yang efektif dan efisien agar dapat menciptakan kesadaran hukum yang tinggi bagi masyarakat;
2.      diharapkan ketegasan pemerintah dalam menindak setiap masyarakat yang melakukan kejahatan ataupun pelanggaran tanpa pandang bulu, baik masyarakat umum, maupun aparat penegak hukum. Dihadapan hukum setiap orang sama, tiada perbedaan sanksi antara masyarakat sipil dan pelaksana penegakan hukum.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar