Rabu, 05 Oktober 2011

Pembahasan Permasalahan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bagi Pemeluk Agama Islam

Secara umum, tujuan dibentuk dan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia tidak lain adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat Indonesia, baik ketertiban kedalam, maupun ketertiban keluar. Seluruh substansi yang ada di dalam KUHP merupakan rangkaian peraturan yang dipergunakan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau pelanggaran. Adapun yang mengatakan bahwa KUHP di undangkan sebagai langkah dari pemerintah Indonesia untuk mencegah perbuatan semena-mena yang melanggar hak, kemerdekaan dan kepemilikan dari kehidupan orang lain dan ketertiban umum. Memang, secara umum inilah yang dipahami oleh mayoritas masyarakat kita yang masih awam terhadap hukum positif Indonesia.
Secara yuridis, untuk dapat menafsirkan seluruh substansi yang terdapat didalam KUHP dirasa sangat sulit bagi masyarakat pada umumnya, sedangkan didalam suatu azas hukum, dikatakan bahwa apabila peraturan perundang-undangan telah di undangkan secara sah, maka setiap penduduk Indonesia di anggap telah mengetahui dan memahami isinya. Namun, pada kenyataannya, dengan masih berpedom kepada pernyataan suatu azas hukum diatas, didapatkan bahwa terasa sulit sekali untuk mengetahui berbagai macam perundang-undangan yang telah ada di Negara Indonesia. Oleh karena ragam manusia yang tingkat pikiran dan pemahamannya terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya, maka kian sulitlah untuk menerapkan pernyataan di atas. Akan tetapi keberlakuan azas tersebut tidak akan pernah bergeser dari tempatnya, karena apabila tergeser, maka pastilah akan menyebabkan berbagai permasalahan lainnya. Lagi pula, terhadap pernyataan tersebut, ia memang merupakan sebuah pemerkosaan hak yang diterapkan oleh pemerintah bagi seluruh Rakyat Indonesia demi tercapainya sebuah tujuan, yaitu ketertiban masyarakat dan kemananan nasional atau mungkin dalam sekrup yang lebih luas.
Tidak mudah untuk menafsirkan konten yang ada pada setiap pasal didalam suatu undang-undang. Secara umum metode yang di gunakan untuk interprestasi tersebut dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama, yaitu penafsiran secara sempit, dan yang kedua, yaitu penafsiran secara universal (luas). Bagi pihak-pihak yang memahami teoritas tentang hukum karena bergelut didalamnya, tentunya tidak akan mengalami kesulitan yang berarti dalam melakukan penafsiran ini, akan tetapi bagaimanakah dengan para pihak yang awam terhadap teoritas hukum? Tentunya mereka tidak akan mampu untuk menginterprestasikannya.
KUHP adalah sebuah kitab undang-undang yang merupakan sebuah kitab warisan yang diturunkan oleh negara yang dulu pernah menjajah tanah Indonesia. Setelah Indonesia lepas dari jajahan Belanda, kitab undang-undang yang dulu dirumuskan oleh belanda sedikit diubah dan diterjemahkan namanya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Yang dibicarakan diatas hanyalah sekedarnya saja, karena titk konsentrasi pembahasan yang akan di rumuskan pada artikel ini adalah tentang ketidak-jelasan atau tumpang tindih yang di anut oleh salah satu pasal yang ada di dalam KUHP, yaitu pasal 284.

Pasal 284 mengatakan, “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, yaitu :

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel), padahal diketahuinya bahwa pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya;

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel), padahal diketahuinya bahwa pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya;

2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

b. Seorang wanita yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya.
Dari isi yang terkandung didalam pasal diatas, dapat di pahami bersama bahwa substansi yang ada didalamnya secara langsung telah menyinggung permasalahan mengenai perzinahan. Akan tetapi perzinahan yang bagaimanakah yang diatur? Untuk mengetahui hal ini, maka yang pertama harus dilakukan adalah mencari definisi dari perzinahan terlebih dahulu.
Definisi perzinahan berdasar kepada tela’ah dari seorang Hakim Agung adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dikatakan lagi olehnya bahwa persetubuhan ini dilakukan atas dasar suka sama suka. Tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Inilah pengertian zina menurut pasal 284 KUHP. Akan tetapi apakah pengertian perzinahan diatas sudah dapat diterapkan terhadap seluruh golongan (Agama)? Jawabnya adalah “belum”.

Pada pasal 284, didalamnya terdapat perkataan “pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya”. Esensi dari kalimat ini dapat disimpulkan bahwa seorang yang melakukan perbuatan tersebut sudah tentu orang yang tunduk kepada Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUH Perdata. Ketentuan pasal 27 KUH Perdata menyebutkan bahwa pada azasnya seorang laki-laki dan seorang perempuan hanya boleh memiliki satu istri atau suami. Jadi, apabila di hubungkan dengan ketentuan pidana pada pasal 284 ini, yang mana dengan melakukan perbuatan asusila yaitu persetubuhan bukan dengan istri atau suaminya, maka secara langsung orang tersebut telah melanggar ketentuan pasal 27 KUH Perdata, dan akan dijatuhi sanksi yang telah diatur.

Yang patut diketahui adalah bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang diatur didalam KUH Perdata hanya berlaku bagi golongan orang-orang tertentu. Disebutkan demikian karena bagi golongan orang yang beragama Islam, pengertian perzinahan sangat luas cakupannya. Memang, negara berhak untuk mengenyampingkan hak-hak dari individual masyarakatnya, namun untuk soal Agama, negara tidak berhak untuk mengenyampingkan hak-hak atas suatu agama tersebut.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Negara Indonesia Adalah Negara Yang Beragama, Bukan Negara Agama. Uraian spesifik dari penjelasan tentang pernyataan ini adalah bahwa negara Indonesia terlepas dari peraturan-peraturan mengikat seperti hukum Agama, agama apapun itu, akan tetapi, meski demikian, negara tetap harus memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap Agama. Berbeda halnya dengan Negara yang memang merupakan Negara Agama seperti yang di anut oleh Arab Saudi, yang mana menerapkan peraturan-peraturan langsung bersumber dari Hukum Islam yang di turunkan oleh Allah SWT, yaitu Al-Qur’an.

Berdasarkan uraian singkat yang telah ungkapkan diatas, lantas bagaimanakah kelanjutan dari ketentuan pasal 284 KUHP tadi. Bagaimanakah keberlakuannya, karena esensinya hanya menyebutkan bahwa hanya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tunduk kepada BW saja yang dapat dihukum atas ketentuan itu. Jadi bagaimanakah bagi seseorang yang memeluk Agama Islam, dapatkah ketentuan pidana tersebut diterapkan kepadanya?

Sedikit literatur mengenai definisi zina menurut perspektif Agama Islam. Di dalam Islam perzinahan merupakan perbuatan yang berkaitan erat dengan kaedah-kaedah hukum Islam. Pengertian zina menurut Islam pun sangat luas. Sebagai salah satu contoh zina bagi Islam adalah berpegangan tangan antara laki-laki atau perempuan dengan perempuan atau laki-laki yang bukan muhrimnya. Karena bukan merupakan muhrimnya, maka Islam melarang perbuatan tersebut. Akan tetapi, acuan pengertian zina yang ada didalam pasal 284 KUHP di atas, secara luas juga termasuk kedalam perbuatan zina bagi sudut pandang Agama Islam.

Uraian singkat diatas hanya merupakan kilas relevansi saja agar diketahui secara pasti definisi zina menurut Agama Islam. Karena pada akhirnya Indonesia bukan merupakan Negara Agama, maka definisi zina yang di ambil dari Islam pun diselaraskan dengan pengertian zina yang ada pada seluruh Agama dan sesuai dengan norma hukum. Akan tetapi meskipun sudah di rumuskan seperti yang sekarang ini, mengapa ketentuan pada pasal 284 masih menyiratkan kalimat bagi yang tunduk pada BW, sedangkan diatas sudah diketahui bersama bahwa keberlakuan BW tidak diperuntukkan bagi Agama Islam. Lantas, apabila ada seorang beragama Islam melanggar ketentuan dari pasal 284 tersebut, apakah sanksinya? Jelasnya, sesuai dengan azas legalitas didalam hukum pidana yang menyebutkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dihukum apabila tidak ada peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu, maka ia tidak dapat dijatuhkan hukuman atau sanksi. Lantas apakah orang yang melakukan perzinahan tersebut harus dikenai Hukum Islam? Jawabnya adalah kembali lagi kepada Negara Indonesia bukan Negara Agama, melainkan negara yang beragama.

Lebih lanjut, bertitik tumpu kepada azas legalitas, maka terhadap perkataan yang terselip didalam pasal 284 KUHP, jelas secara implisit mengatakan bahwa keberlakuan pasal ini hanya bagi orang-orang yang tunduk kepada pasal 27 BW. Jadi, secara teori dan hukum tertulis Indonesia, apabila suatu ketika seorang beragama Islam melakukan tindakan menyimpang dari ketentuan pasal 284 tersebut, seperti yang telah dibicarakan diatas tadi, maka sudah tentu orang tersebut tidak bisa dituntut dan dilakukan proses hukum atas pengaduan pihak yang dirugikan berdasarkan ketentuan dari pasal ini. Karena pasal 284 merupakan delik pengaduan, maka agar kasusnya dapat ditindak lanjuti oleh pihak kepolisian, diharuskan ada pengaduan secara tertulis yang dilayangkan oleh pihak yang merasa di rugikan.

Keberlakuan azas legalitas, bila disangkut pautkan dengan ketentuan pasal 284, maka jelas, didalamnya hanya dikatakan bagi orang-orang yang tunduk kepada BW, sedangkan bagi orang yang beragama Islam di Negara Indonesia hanya tunduk kepada Hukum Islam sepanjang mengenai perkawinan dan hal ikhwal lainnya, seperti yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan Indonesia.

Untuk menjawab pertanyaan krusial yang dianggap tidak jelas dan tumpang tindih diatas, maka Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di dalam undang-undang perkawinan, yang harus diperhatikan dan dicermati adalah ketentuan penutupnya yang mengatakan bahwa segala aturan yang menyangkut persoalan perkawinan didalam BW, dengan di Undangkannya Undang-Undang ini, maka dinyatakan dicabut dan diganti dengan Undang-Undang ini. Jadi, setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka segala perihal yang menyangkut tentang perkawinan didalam BW dinyatakan tidak berlaku lagi karena diganti dengan keberlakuan dari undang-undang nomor 1 tahun 1974.

Kembali kepada persoalan pada pasal 284 KUHP yang mengatakan tunduk kepada pasal 27 BW, didalam undang-undang perkawinan, substansial pasal tersebut dituangkan kedalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Jadi, apabila suatu waktu terjadi perbuatan perzinahan, maka pasal 284 merujuk kepada ketentuan pasal 3 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai landasan formil untuk memberikan sanksi pidana bagi pelaku perbuatan perzinahan tersebut.

Lebih lanjut, menurut teoritas hukum pidana Indonesia, landasan dasar yang harus diperhatikan untuk menjatuhkan sanksi bagi orang-orang yang melanggarnya adalah landasan yang harus sejiwa dengan norma-norma kehidupan. Norma tersebut meliputi norma Kesusilaan, Kesopanan, Agama, dan Hukum. Alasan penghukuman bagi orang-orang yang melanggar norma Kesusilaan, Kesopanan dan Agama akhirnya dituangkan kedalam norma Hukum yang di bentuk oleh negara untuk senantiasa menjaga seluruh ketertiban didalamnya. Karena menurut hukum pidana, akibat dan pembalasan bagi orang yang melanggar norma kesusilaan, kesopanan dan agama dipandang tidak dapat memberikan efek jera bagi pelakunya, maka dibutuhkan suatu norma yang sistematis, yang diukur dari kehidupan nyata. Begitu luas aspek-aspek lainnya yang diperhatikan dan dibahas didalam teoritas hukum pidana Indonesia. Yang perlu diingat adalah bahwa seluruh teoritas hukum didalam Hukum Pidana ini masih berlaku untuk menilai secara analisatif suatu perbuatan-perbuatan baru yang akan muncul dikemudian hari, dan hasil dari penela’ahaan tersebut akan dinamakan dengan yurisprudensi yang kelak akan berlaku sebagai undang-undang pada kasus yang sama bagi hakim lainnya. Proses penela’ahan ini biasanya dilakukan oleh Hakim Agung, mengingat Mahkamah Agung adalah merupakan tingkat terakhir atau tertinggi suatu badan peradilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar