Kepul asap menyeringai.
Dilayang angin terambang histeris.
Ratusan batuan terbang menghantam.
Dibagian kulit yang tampak basah menganga,
cairan merahpun menetes menciprati haluan.
Riuh kecam terlontar,
beralamat kepada sang diktator.
Dikursi tebal berbusa manjakan raga,
dia tengah duduk bersantai.
Tak perduli rakyat tengah berjalan menggontai.
Tangan mereka berdarah.
Entah sebab melempar, menggenggam atau dihantam.
Tangisan merekapun beruntun ditabrak ketidakadilan.
Antara yang berkuasa dan mereka yang dianggap sampah,
hingga sumpah serapah memapah ancaman kearah marah.
Slogan dibawah tangis coba menggendang telinga,
namun gemingan pun tak jua terbit menyambut,
dia menyulut pendengaran dengan penyumbat,
Keganasan kian buta ditengah haru biru malam.
“Lengser!”
Kami meminta dengan paksa,
kami memohon dengan tangis.
Saksikanlah derita,
kami menoreh kanvas dengan darah.
Dengarlah berita,
kami membanjiri tanah dengan airmata.
Pandanglah kami,
perhatikanlah kami.
Wujudkanlah keinginan.
Kami tak sanggup dilindas,
keputusanmu hanya untuk kepuasanmu.
Kami tak mampu ditindas,
kebijakanmu hanya untuk kebajikanmu.
Sedang kami,
Turunlah kejalan,
dan amati sendiri apa yang telah kau cipta.
Mesin Pematah semangat!
Itulah realita gambarmu.
Sudah berlalu Era-mu,
maka lenyaplah Ego-mu
Ini sebuah catatan dari mereka,
Saudaramu yang kini telah mati,
namun bangkainya masih tegeletak.
Disana, dijalanan berbau amis daging yang tercecer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar