Malam baru saja bangun dari lelap tidurnya. Gemeretak dingin mulai berhembus, menembus tiap kulit manusia yang merasakan ketajamannya. Inilah saat dimana peristiwa malam kembali menyapa.
Didalam malam yang baru saja menyongsong itu, dua orang manusia berbeda jenis bercerita, dan masing – masing dari mereka menguakkan kisah yang masih tergantung tinggi melayang didalam angan. Mereka berceritera tentang sebuah cita - cita dalam nada - nada cinta yang samar dan bergetar.
Sang anak lelaki membuka tanya dimuka,
“Wahai, Engkau, saudara perempuan-ku, apa harapmu dimasa mendatang yang teramat engkau idamkan?”
“Wahai Engkau, saudara lelaki-ku, sesungguhnya aku hanyalah seorang perempuan yang memang sejak semula telah digariskan sebagai makhluk yang lemah Oleh-Nya, namun justru sebab kelemahan itulah yang memberikan kekuatan untukku, hingga ia menjadi sumber kekuatan untukku. Sesungguhnya harapku hanyalah ingin menjadi bagai seorang ibu bagi orang – orang yang kelak mau menganggapku. Dan kelak setelahnya, Aku akan bekalkan mereka dengan moral dan pengetahuan serta melalui pengajaran kepada mereka“
Sang anak lelaki seketika segera menengadahkan kedua tangannya seraya menggumamkan kata,
“AMIN” didalam hati, kemudian perlahan ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu berkata,
“Alhamdullilah….. Aku memahami siratan makna dari seluruh rangkaian kata yang terangkum itu. Sungguh suci nan mulia harapan yang engkau pilih dari hasil pemilahanmu itu".
Mendengar lontaran kalimat pujian itu, dengan sayup sang perempuan kembali melisankan lafaz suci,
“Amin Ya Rabbal Alamin… Semua juga tidak terlepas oleh sebab dari Allah yang telah mengkehendaki Aku untuk berkeinginan seperti itu.
Bergetar hati sang lelaki. Tertegun ia mendengar lantunan mengenai penyantun hidupnya didunia fana ini. Sang lelaki tersenyum…. Dan suasana pun hening dengan bening, dan merekapun tidaklah banyak bergeming.
Beberapa saat kemudian, dengan Tanyanya sang perempuan bersuara,
“Wahai engkau saudara lelaki-ku, bagaimana dengan harapmu?”
“Sesungguhnya harapku hanyalah tentang mengumpulkan harta dan kebaikan, wahai kau saudara perempuanku”
Bisu terangkum dari bibir perempuan yang kelu karena keras berfikir untuk menafsirkan siratan makna yang tersurat melalui lisan sang lelaki itu. Sang lelaki menyaksikan fenomena itu dan kembali ia tersenyum ramah.
Detik demi detik telah melaju, hingga akhirnya menit pun menggantikan kedudukan dari detik tersebut. Seiring itu juga, sang perempuan kembali mengeluarkan kata - kata yang sengaja ia rangkum menjadi pertanyaan,
“Wahai saudara lelaki-ku, harapmu adalah harapan yang bersih nan murni, namun hanya sedikit yang mampu aku terjemahkan dari kalimatmu yang masih menyimpan rahasia itu. Kiranya apabila engkau bersedia, maka ungkapkan lah cahaya yang terpendam itu kepadaku.
“Baiklah, aku bersedia untuk mengungkapkannya kepadamu tentang apa yang menjadi alasanku hendak mengumpulkan harta itu, wahai kau saudara perempuanku. Disela – sela kewajibanku sebagai seorang muslim didunia fana ini, aku juga ingin mengumpulkan harta sebanyak yang aku bisa, sebab aku bukan hanya ingin menjadi orang yang kaya akan pahala, namun aku juga menginginkan menjadi orang yang kaya akan harta benda………………” Ujar sang lelaki.
Sang perempuanpun semakin bingung dan disertai dengan rasa penasaran akan maksud dan tujuan yang dimiliki oleh sang lelaki itu. Karena itulah sang perempuanpun kembali bertanya,
“Wahai kau saudara lelaki-ku, mengapa engkau hendak mengumpulkan harta sebanyak yang kau bisa? Tidak kah takut terjerumus kedalam jurang ketamakan?”
“Wahai kau saudara perempuan-ku, yang menjadi dasar daripada pengumpulan harta itu adalah hal kedua dari harapku, yaitu kebaikan” jawab sang lelaki.
“Lalu bagaimana engkau dapat mengaitkan harta dengan kebaikan yang telah kau sebutkan tadi?” Tanya sang perempuan yang nampak kian penasaran.
“Sedari tadi aku melihat kebingunganmu yang melekat erat pada bulatnya raut wajahmu itu. Hilangkanlah itu segera, sebab kini akan aku ungkapkan segala sesuatu yang telah membuatmu merasa penasaran itu. Hakekatnya, tujuanku untuk mengumpulkan harta itu tidak lain hanyalah untuk berbuat kebaikan semata yang dimana wujud dari kebaikan itu adalah dengan menjadi sesosok manusia yang selalu bisa membantu dan meringankan beban saudara – saudara kita lainnya yang mungkin tengah dirudung kesulitan dalam hal perekonomian.”
Mendengar hal tersebut, sang perempuanpun terkesima. Sungguh sama sekali ia tidak mengira bahwa masih ada sesosok manusia didunia ini yang memiliki hati selayak emas yang telah terpendam didalam lautan untuk waktu yang sudah sangat lama.
Sang lelaki segera berkata,
“Lihatlah bulan yang menerangi dunia dan lihatlah para bintang yang berkedip diatas sana” ujar lelaki itu sambil menunjuk kearah langit.
“Iya, aku melihat dan menatapnya dengan seksama. Lantas apa yang hendak engkau sampaikan dari kalimatmu itu?” balas sang perempuan disertai dengan tanyanya.
“Bulan dan bintang terkadang kerap menerima pujian dari setiap makhluk hidup yang diciptakan oleh-Nya, namun sinarnya tetaplah tenang menerangi kita disetiap malamnya. Mereka tidak mengenal pujian, mereka tidak mengenal rasa dan mereka tidak mengenal cinta. Mereka hanya ditugaskan oleh-Nya untuk memandu langkah setiap makhluk yang tidak bisa melihat didalam kegelapan. Mereka berkewajiban menjadi pelita bagi setiap manusia dan makhluk lainnya dihari yang gelap. Memang terkadang mereka kerap tiada muncul pada saat – saat tertentu, namun itu semua bukanlah keinginan mereka. Mereka hanya tunduk dan patuh terhadap apapun yang telah menjadi garisan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah bagi dirinya. Mereka hidup hanya dengan sebagaimana adanya. Mengalir mengikuti jalan yang telah dibangun untuknya. Bila diibaratkan, maka bulan adalah sebuah lampu yang secara sengaja dipasang oleh pemiliknya, yaitu Allah SWT untuk menerangi sebuah rumah, yaitu Bumi. Dan sesungguhnya aku hanyalah salah satu dari sekian banyaknya manusia yang mencoba untuk meniru segala sesuatu tentang filosofi yang tergores dari bulan tersebut, semoga jalanku diridhoi oleh-Nya”.
“AMIN….” Sang perempuan kembali tersenyum, namun senyuman yang terpatri kali ini terliihat sangat menyentuh sang lelaki, sebab sebagian kelopak matanya terlihat bergetar seperti seorang yang tengah menahan haru yang melingkupi hatinya.
Sang lelaki melangkahkan kakinya mendekati sang perempuan sambil merogoh kantong kemejanya. Saat tiba dihadapan perempuan itu, dengan lembut ia menyapu air mata sang perempuan yang perlahan – lahan mulai tumpah dengan sebuah saputangan biru.
“Dengan segala kebaikan dan rahmat-Nya, engkau adalah seorang perempuan yang soleha, wahai saudara perempuanku. Engkau tidaklah membuat - buat rasa. Engkau hanya tersenyum dan menangis memang disaat engkau merasa semua itu harus kau lakukan. Sesungguhnya aku hanyalah seorang makhluk ciptaan-Nya yang baru mencoba untuk berfikir dan berkata bijak disela – sela berusaha untuk menjadi seorang yang benar – bener bijak. Dan aku sama halnya seperti dirimu” ujar sang lelaki setelah selesai menyapu air mata sang perempuan.
“…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….” Suasana hening kembali, namun kini ia dalam balutan malam yang mulai dibasahi oleh rinai hujan kecil. Deringan jejangkrik hadir memandu malam yang sudah terasa lembab.
Malam kian larut disaat mendung itu mulai lenyap. Sang Bulan kembali bersinar, begitu juga dengan bintang yang masih mengedipkan sinarnya kepada belahan bumi tempat dimana sang lelaki dan perempuan itu berceritera. Tanpa mereka sadari, ternyata kehadiran dan kisah mereka saksikan dan didengar oleh bulan dan ribuan bintang yang sedari tadi setia menyinari mereka. Dan karena hal itu, bulan dan bintang – bintang berjanji akan selalu menerangi langkah kaki kedua anak Adam tersebut agar dapat mewujudkan harapan – harapan yang telah mereka paparkan tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar