Kamis, 04 Maret 2010

Rajutan Kata Tanpa Makna

Mungkin ini apa yang ia rasa. Tak berniat aku melukis pohonan berdaun kering diantara sela dua bukit yang telah kau ukir dengan tinta cinta pada kertas asmara itu. Jua tak pernah terlintas untuk menggores ataupun menyayat kulit pembungkus batang yang masih segar serta tenang menancapkan akarnya kuat kedalam jiwa yang tandus itu.

Mungkin ini apa yang ku rasa. Pelosok hati memanglah berliku, bahkan terjal walau hanya untuk sekedar disusuri. Namun dia, dia yang berbeda dengan bulan yang lainnya. Dia adalah purnama yang pernah pijarkan indera tatapku di waktu malam, namun setelah itu, ia tanggalkan jejak sinarnya. Namun tak sirna sepenuhnya kepada bumi. Dibelahan lainnya jua terdapat dia yang satunya lagi, bahkan, mungkin lebih kuat dari dia yang sebelumnya.
Dia yang saat ini merasa. Namun, dia hampir hambar. Dia adalah pusaran tornado yang siap luluh lantakkan apapun yang ia sentuh. Dia juga adalah Lumpur hidup yang siap melumat serta menelan apapun yang berpijak diatasnya. Cukuplah semua yang berlalu itu terbang bagai debu. Namun masih aku berpikir, bukankah debu dapat membuat sesak nafas seorang yang mengidap asma? Maka, kujilati kembali ludahku pada lantai keramik yang berpeluh jejak – jejak alam, lalu, ku serukan derai – derai bahana mimpi : “Ku bukan inginkan debu. Ku harapkan ia menjelma sebagai udara, sebab udara adalah kudapan setiap detik bagi setiap nafas yang masih dikalungkan oleh tarian denyut nadi”.
Keraguan tak diundang bertamu silih berganti pada istana yang di isi oleh kebimbangan, hingga merenggut sebuah keyakinan tebal yang telah lama menghuni relung kekuasaan hati.
Mungkin dia yang saat ini tengah terhimpit oleh tekanan asmara ujung tanduk, ingin melayangkan sebuah kegundahannya lewat makian yang menebarkan aroma busuk. Bahkan, jika sanggup, dia akan meluahkan kebencian itu lewat jerit pekik pada kedua gendang telinga kekasihnya yang selama ini selalu mendengarkan segala keluh kesah tentang alur kehidupannya hingga pecah.
Kini, kulanjutkan lagi kisah yang sempat terhenti, karena lampu kuning. Dihari yang lalu sebelum rajutan kata ini teruntai, entah mengapa fikiran mendadak kram. Jemari berhenti berjalan karena lapar. Ya, dia lapar, sebab beban membuat sebagian ruas engselnya nafasnya menjerit tiada arah. Kini, jemari kembali berdiri tegak. ia menyusuri jalanan putih, tipis nan lembut. Akal pun mulai kembali menari menyulam sepi dengan kata yang bisu. Tak perduli tatapan telah lelah. Tak beringsut meski malam telah kusut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar