Mari kawan, mari kita menangis bersama. Jangan tahan kehendak mereka yang ingin menetes. Jika memang mendung itu murung, maka terisaklah meski diselanya segelintir senyum masih terlihat ingin bersenandung.
Kita sama tahu bahwa saat ini tidaklah tersisa kekuatan untuk keluarkan suatu kata, apalagi kalimat, namun jangan hanya termangu disitu bersama kepedihan, Kawan. Sekali lagi, biarkan ia mengucur dengan deras membasahi lengkuk kedua pipi merahmu yang mulai melembab.
Sekian aku meminta, semua hanyalah agar pelupukmu bersedia menghujan bersama denganku yang memang telah basah dari kemarin disuatu siang yang terik tanpa peneduh dalam pendiamanku. Adakah kini telah tergerak sudut-sudut perihmu diperah oleh gerah?
Tik.. tik… tik… tik……………………………………………….
…………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………….
Akhirnya basah juga matamu. Biarkan keberlangsungannya, Kawan. Jangan pernah sapu mereka dengan jemarimu, karena aku telah membawa semangkuk wadah yang siap untuk menampungnya.
Tahukah kau bahwa aku bahagia karena kita bisa menangis bersama dalam keadaan dan perasaan yang sama pula? Aku yakin besar kemungkinan kau tahu akan hal itu, dan pun kau menginginkan itu semua dari suatu gumpalan merah yang terletak pada lindungan iga-igamu yang keras.
Kini, marilah kita berbicara melalui airmata. Kita ungkapkan lisan berupa kata atau kalimat dengan mereka. Aku yakin mereka semua akan sedikit meringankan beban yang berat terasa dipundak.
Mari Kawan, mari kita lafazkan bait suci penyejuk mimpi disetiap bulir-bulir yang keluar tanpa paksaan itu. Aku bahagia, kau pun bahagia. Sebaliknya kau bahagia, maka akupun ikut berbahagia sebab kebahagiaanmu itu.
Teruskan hingga kita tenggelam dalam keterharuan… Aku mencintaimu. Terimakasih, Kawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar