Jumat, 21 Januari 2011

Pergilah, Kasih


Mengapa kamu mengadu kepadaku? Itulah tanyaku. Memang hanya sebatas tanya, namun justru disitulah mohonku terselip dengan rapi. Bersembunyi ia didalamnya dengan penuh harap tebal.

Aku suka sekerat perhatian yang terbentuk dari biru bundaran mata dan merah rekah senyummu. Entah, aku pun tidak mengerti apa sebab nikmat tertangkap pandangku. Satu lagi yang aku dengar, bahwasanya telingaku juga gemar merekam tawa kecil yang kau suarakan.

Memang sulit perkarakan asmara yang kini tengah membuai. Semakin dalam, maka resiko akan tenggelam pun semakin menggeram. Namun kini aku merasa takut jika harus menghentikan gerak tulis ditengah kisah yang tengah bercerita dengan penuh suka ini.

Kau tahu bahwa kini aku juga tengah memaraf kisah yang belumlah rampung diatas kertas putih lainnya bersama dengan pena tinta biru. Namun, mengapa tetap engkau bersikeras ingin menjadi tinta merah?

Lara memang duka, Kasih. Tapi jika hanya itulah yang dapat kuberi, maka aku ingin hapuskan perselisihan beda yang menjulang berarti diantara kita. Kenyataan adalah bahwa manusia hidup untuk mengukir sebuah pemilihan, dan kau mengerti akan kisi-kisi itu. Maka ikhlaskan rasa yang kau simpan demi bahagiaku, agar aku senantiasa dapatkan kehangatan disepanjang masa karena pengorbananmu.

Aku sangat berharap kau jejaliku dengan kata maki mulai dari ujung kaki hingga sampai kepada pangkal hati. Biarkan aku menjemui tiap lisanmu agar kelak aku menjenuh hingga sampai kepada rasaku terbunuh.

Ini hanyalah fatamorgana, Kasih. Tiada dapat kau cetak hasilnya dalam bentuk fisik. Kita hanyalah segerut kasih yang tak utuh sebab tiada saling butuh ketika akan sejukkan tubuh yang tengah teteskan kucuran peluh.

Jangan menangis, Kasih. Rasa sakit hanyalah sementara saja. Kelak apabila kau telah tersentuh oleh manisnya waktu, maka yakinlah bahwa akan segera terburai kecai yang sempat menusuk kemarin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar