Merunduk melesu... Ada tetesan yang hendak bicara. Ia ingin mengungkit barang sejenak tentang pahatan jejak kaki yang telah terparaf dahulu. Disini, merunduk bukanlah sebab berisi fikiran. Hanya kosong yang terpahat pada jerit-jerit kata yang buntu sebab telah terkatup oleh kata hilang.
Jika teringat yang telah terasa, lemas terasa persendian kaki ini bertahan menyeimbangkan sepotong tubuh gemuk yang penuh akan lemak dikanan kirinya. Ya, Topangan tak lagi melekat erat karena kegoyahan selalu hadir memenuhi tiap cabang fikiran disaat lelah mulai terangkai.
Ini memang bukan kisah kita lagi, namun tetap lara dan bahagia selalu terpatri hingga kematian menjemput hembusan terakhir nafas kita. Izinkanlah kuterbangkan sebuah pertanyaan yang jawabnya akan kupecahkan sendiri.... Gundahkah kamu seperti kegundahan yang terasa begitu menyesakkan didalam dada seorang anak Adam dan Hawa ini? Kurasa tidak.... Itulah jawaban yang meluncur dari bibir tipisku yang dulu sering dengan manja engkau pilin dengan lidahmu dan yang selalu engkau letakkan jari telunjukmu keatasnya ketika memang tepat waktunya...
Aneh... Cinta itu, tidakkah membusuk? bukankah seharusnya ia telah membangkai dan dinikmati oleh puluhan bahkan ratusan lalat hijau? Terlalu rendah pengetahuanku untuk pecahkan hal itu... Tak dapat kujawab walau sudah hampir sempurna terangkum didalam fikiran yang juga hampir pecah ini. Mengapa binatang kumuh itu enggan bertandang kearah bangkai asmara itu?
Pernah kita mengelus rindu hanya demi cinta.... Ingatkah Kau akan hal indah tanpa paksaan itu. Ku yakin engkau takkan pernah mengingat hal apapun yang telah terjadi pada kita dihari kemarin. Janganlah pernah Kau bertanya dengan wajah yang muram kepadaku, Lara. Itu hanya akan membuat rekahan senyuman yang bertengger pada bibir ini tampak mengering. Tetaplah kepada arah tujuan hidupmu itu. Lekas lepas tambang yang selama ini dipautkan kepada besi tebal berbentuk bulat tak sempurna itu. Kehendak seluruhnya bertaut ditanganmu yang mulus itu. Ini hanyalah sebuah prosa yang tercipta dari seorang lelaki yang tak tentu arah. Kerap Ia berjalan, namun aral selalu menghadang didepan tubuhnya yang hanya terlihat besar, sedangkan hatinya sudah menyerupai seorang manusia yang gaek. Menahan getaran dari raga yang gemetar ketika langkah telah terlantun kian menjauh dari rerumputan hijau. Hatinya yang keriput itu terengah memompa semangat kala tetesan hujan kian lama kian membesar. Kini, lihatlah, bukan hanya hatinya saja yang terlihat keriput mengkerut, tapi kulitnya juga telah nampak sama dengan gambaran pemompa semangatnya itu. Tak hanya itu saja, objek yang tengah dibincangkan itupun sungguh pucat dan lembek ditangkap oleh tatapan.
Kembali...... Aku dan Kamu yang tak lagi saling mengetahui. Dan itupun berarti bahwa tak lagi berdiri adat berbagi yang selalu kita berikan puja-puji disetiap harinya. Pernah kita melangsungkan perjalanan seperti layaknya seorang musyafir yang tanpa kelelahan memutar poros waktu yang tiada pernah kita perdulikan sama sekali. Selalu hanyut bersama buaian kehidupan yang pada saat itu terasa bagai tiada cermin untuk berkaca dan kembali menyadari bahwa kita hanyalah seonggok daging yang diberi nama MANUSIA....
Aaaahk.... Sudahlah, keras berfikirpun tak lagi dapat menghilangkan bekas luka sundutan yang telah engkau bekaskan pada kedua belah punggung tangan ini. Aku muak menetapkan diri sebagai insan yang selalu dianggap lemah, hingga selalu dipandang remeh. Sekali lagi sudahlah. Menguak ceritera yang belum sempat menjadi bahtera diatas altar suci adalah kelemahan cinta ketika kerapuhan datang memberontak pada jiwa-jiwa yang tertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar